(1) - PESAN DARI MASA LALU
Cammo Industrial Park, Batam
Pesan
itu masuk saat Shila hendak menutup e-mail-nya.
Jam kerja sudah berakhir dan ia ingin segera tiba di rumah. Ratu kecil
meneleponnya untuk pulang cepat. Kepala Dedek nggak enak, Dedek nggak bisa bangun,
kata Ratu kecil di telepon. Kakak membenarkan ucapan adiknya, ia meminta Shila
cepat tiba di rumah.
“Adik
merengek terus,” rungutnya.
Shila
ingat, suaminya masuk sore hari ini dan kedua ratunya itu di bawah pengawasan
orang lain hingga ia pulang. Sebenarnya ada pesanan supplier yang harus segera ia kerjakan. Bagian produksi melaporkan
ada material yang cacat dan ia harus segera mengurus surat pengaduan. Tapi ratu
kecilnya berada pada skala prioritas. Ia memutuskan membawa laptop kantor dan
mengerjakan pekerjaannya di rumah. Tidak ada uang lembur hari ini.
E-mail
itu cukup mengganggu. Pasalnya, sudah 20 tahun ia mencoba hidup dengan
melupakan masa-masa di Sekolah Menengah Atas. Dan kini, saat kehidupan dirasa
berjalan sempurna, e-mail itu
menusuk-nusuk ingatannya dari dalam. Ada yang mencoba keluar. Ada yang meminta
jawaban.
Shila
bisa saja mengabaikan e-mail itu.
Sama seperti ia mengabaikan puluhan e-mail
dari Febi, sahabatnya di SMA. Tapi ia tidak bisa tidak peduli. Mudah baginya
untuk menghilang, semudah asap menguar ke udara. Nyatanya, ia masih tetap
menggunakan e-mail yang sama sejak
belasan tahun. Tidak pernah mengganti atau menghapusnya. Ia membiarkan Febi
terus menanyakan kabar meski tak pernah dibalasnya satu pun. Apa yang
diharapkan? Ada. Ada satu yang ia harapkan. Satu cerita yang ingin ia ketahui.
Satu cerita tentang satu nama. Dan ia tahu, Febi tak akan menceritakannya. Ia
pernah meminta Febi memasukkan nama itu pada locker besi dan menguncinya rapat. Nama yang tertanda pada surat
yang masuk ke alamatnya. Kini nama itu mengetuk lirih pintu lockernya. Minta dikeluarkan. Shila
menggenggam erat kuncinya. Bimbang.
Satu
minggu sudah berlalu. Shila belum memutuskan akan memberi jawaban apa pada
balasan e-mail. Atau malah tidak
membalas sama sekali. Ia juga bingung, akan memberi alasan apa pada suaminya.
‘Bang,
Adek mau datang ke reuni SMA, boleh, ya?’
‘Ya,
datang saja. Tidak apa-apa.’
Ah,
seandainya semudah itu. Meski bisa saja suaminya mengizinkan ia pergi, tapi
bukan hal mudah baginya untuk pergi sendirian sejauh itu. Di tambah, di sana
tidak ada lagi keluarga atau kerabatnya yang masih tinggal. Hanya ada
sekumpulan orang-orang yang mungkin sudah melupakan dan menganggapnya hilang.
Shila mendesah. Desahan panjang yang ke sekian kali.
"Apa
yang Adek pikirkan, sih? Dari tadi Abang perhatikan hanya melamun dan
mendesahhh... saja."
Shila
tergeragap. Tidak menyangka suaminya memperhatikan kelakukannya yang janggal.
"Tidak
ada, Bang. Hanya kesal masalah kerjaan."
"Abang
tak yakin. Abang rasa ada masalah lain yang tak kena. Ceritalah, Dek. Apa yang
telah membuat Adek risau? Atau Adek dah tak suai
lagi dengan Abang?"
"Tidak,
Bang! Abang jangan berpikiran seperti itu. Adek hanya bimbang."
"Tentang
apa?"
"SMA
Adek akan mengadakan reuni besar. Reuni 20 tahun. Adek hanya berpikir
seandainya bisa datang. Tapi, ah, sudahlah, Bang. Tak payah dipikir lagi. Bikin sakit kepala saja."
"Memangnya
apa yang membuat Adek berpikir tak bisa datang?"
"Ya,
salah satunya izin dari Abanglah!" Shila menatap suaminya ragu. Suaminya
tersenyum-senyum mengangguk.
Binar
bahagia memancar di beningnya kedua bola mata Shila. Binar ribuan gemintang
yang telah lama menghilang. Ribuan gemintang yang meredup saat hari terakhir 20
tahun silam. Sebuah nama melonjak-lonjak dalam locker tertutup. Shila mengetatkan genggamannya.
Tidak
sekarang. Belum waktunya. Jangan! Belum! Belum saatnya kunci ini digunakan.
***
The City Tower, Jakarta
Ini
kesempatanku!
Hastuti
mengepalkan tangan di mulut dan menggigiti buku-buku jarinya. Matanya lekat
memandangi note book merah marun di
hadapannya. Ia tidak menyangka, setelah beberapa kali gagal mengunjungi
almamaternya, akhirnya kesempatan itu tiba. Kesempatan untuk membalas perlakuan
mereka padanya semasa di sekolah. Ia tidak mau melepaskan kesempatan emas ini.
Ini saat terbaik! Ketika semuanya berkumpul. Hastuti harus memastikan, bahwa
mereka-mereka yang tidak mau pergi dalam ingatannya akan datang. Kecuali mereka
itu telah mati.
Ya,
Hastuti membulatkan tekad. Sebesar apapun kontrak pekerjaannya pada tanggal 25
Maret, harus ia batalkan. Kesempatan ini tak bisa diukur dengan rupiah, dollar atau surat obligasi. Kesempatan
ini tak datang berkali-kali. Mungkin hanya sekali. Selagi mereka masih hidup,
Hastuti ingin mata mereka terbuka saat dendamnya terbalaskan.
Hastuti
menggerakan kursor pada titik-titik yang harus diisi.
Ya, saya akan datang.
E-mail
balasan pun ia kirimkan.
***
Wisma HSBC, Semarang.
Apa
yang kupikirkan? Ah, tidak ada yang bertanya tentang isi pikiranku. Tentu saja
aku berhak sedikit bersenang-senang setelah sekian lama. Lagipula, dia tidak
akan marah. Untuk apa? Aku tidak pernah menuntut. Aku cukup pandai menjaga diri
agar tidak ketahuan olehnya. Oh, ayolah ..., aku anak baik selama di depan dia.
Aku selalu siap sedia setiap dia memerlukan aku. Dan anak-anaknya, anak-anak kami,
semua terawat dengan baik.
Anak
pertama sekarang sudah kelas 1 SMA. Anak kedua kelas 2 SMP. Ketiga kelas 3 SD
dan terakhir TK. Semua sehat. Cerdas. Memperoleh asupan bergizi. Dan tidak
pernah kekurangan kasih sayang ibunya. Yah, walaupun saat di luar rumah, mereka
tidak mengetahui apa yang kulakukan. Tidak juga suamiku. Mereka tidak perlu
tahu.
Aku
masih muda! Aku berhak bersenang-senang. Dan suamiku, dia terlalu lelah. Dia
tahu itu. Tapi, aku tidak menuntut. Bukankah aku anak baik? Aku sangat
pengertian. Sebenarnya tidak! Aku bukan orang yang gampang dipuaskan.
Aku
puas menikah dengannya. Harta melimpah. Derajatku naik. Sebenarnya aku juga
tidak perlu bekerja lagi. Tinggal gesek, gesek, gesek, semua kebutuhanku
tercukupi. Tanpa limit! Kuakui dia sangat memanjakanku. Mungkin dia pikir itu
bisa membungkam gairahku. Atau mungkin semua kemewahan ini untuk mengalihkanku?
Agar aku tidak menuntutnya. Tidak, tidak. Dia salah. Sudah kukatakan aku bukan
orang yang mudah dipuaskan. Itulah alasanku bekerja.
Di
luar rumah, kesempatanku untuk bersenang-senang lebih banyak. Dan aku memiliki
banyak alasan untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi suamiku.
Seperti saat ini misalnya, saat aku duduk berhadapan dengan klienku di sebuah
kafe. Ini belum waktunya makan siang dan kami masih kenyang untuk menikmati
kudapan. Tapi demi terlihat bahwa kami sedang bekerja, maka dua cangkir kopi
terhidang di meja. Sepotong tiramisu dan sepotong red velvet masih utuh di
sampingnya. Kami berdua punya kegiatan yang jauh lebih menarik untuk
dikerjakan. Kami sibuk saling merayapi di bawah meja.
E-mail
ini bagai golden ticket bagiku. Ini
kesempatan untuk berlibur dan berburu. Gemericik air mengalir di dada. Rasanya
sejuk merayapi pori-pori. Membayangkan buruan-buruan seperti apa yang mungkin
kudapat, membuat air di dadaku berjatuhan seperti jeram. Adrenalinku memuncak.
Gairahku meluap. Tiba-tiba aku menjadi 20 tahun lebih muda. Kuraba kulit mukaku
di cermin. Sudah saatnya suntik vitamin.
"Jadi
boleh ya, Pah? Cuma seminggu, kok. Kalau Papa mau temenin, kita bisa bawa mobil
sendiri. Tapi kalau tidak, mungkin Mama naik travel aja."
Suamiku
tersenyum, manggut-manggut. Aku tahu dia tak akan mau diajak melakukan
perjalanan sejauh itu. Semarang - Cilacap bukan jarak tempuh yang nyaman untuk
kondisinya yang sudah sepuh.
"Mama
berhak bersenang-senang. Tidak setiap tahun ada acara seperti ini, kan?"
Aku
memeluknya erat. Menciuminya banyak-banyak. Dan membaringkan kepalaku di
dadanya.
"Papa
baik banget. Mama sayang Papa," ucapku lirih.
Suamiku
mengusap lembut bahu dan punggungku. Mendesah pelan. Pelan sekali. Aku tahu,
sebenarnya dia tahu. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk membendungku? Aku
terlalu lihai untuk ketahuan. Bayangan buruan-buruanku berkelebat cepat
bergantian. Aku bergairah.
***
Gumilir, Cilacap.
Febi
memandangi alamat-alamat e-mail di
laptopnya. Sudah 180 alamat e-mail ia
kirimi pesan. Undangan reuni 20 tahun angkatan mereka. Masih jauh dari target.
Jika semua terkumpul, seharusnya ada 300 siswa lebih dalam satu angkatan. Tapi
hanya 180 yang berhasil ia lacak. Sisanya hilang ditelan bumi. Raib tanpa
jejak.
Sudah
setahun, ia menelusuri jejak teman-temannya. Cara yang paling mudah adalah
melacak jejak mereka di media sosial. Urusan akan lebih gampang jika
teman-temannya itu menggunakan nama asli sesuai ijazah. Kenyataannya, nama
mereka di dunia maya banyak yang berubah, terutama yang perempuan. Rata-rata
menggunakan gelar nyonya diikuti nama suami atau mencantumkan nama anak-anak
mereka. Belum lagi foto mereka yang berbeda dengan tampilan 20 tahun lalu. Ada
yang berhijab, ada yang sudah berjanggut, ada yang kurus menjadi gemuk atau
gemuk menjadi langsing, ada yang sudah di make over dengan kamera B612 atau
dipoles dengan makeup artis, bahkan
ada juga yang merubah bentuk alis, bibir, dagu dan hidung. Itu belum sesulit
melacak mereka yang memasang foto anak kecil pada profilnya atau merahasiakan
semua informasi. Belum lagi yang menolak mencantumkan SMA Harapan Bangsa sebagai
almamaternya. Untuk golongan satu ini, bisa dipastikan mereka enggan menghadiri
reuni akbar angkatan 1996. Alasannya sederhana: masa SMA bukan masa yang
menyenangkan untuk diingat. Dan Febi tahu, siapa salah satunya.
Sejak
tahun lalu, wacana tentang reuni besar sudah sering diembuskan. Mereka yang
masih sering berhubungan dikumpulkan dalam satu grup di whatsapp dan BBM. Dari grup-grup itulah seluruh rencana terlahir.
Juga kemungkinan-kemungkinan untuk mengumpulkan dana. Dari grup itu jugalah
terbentuk panitia kecil yang beranggotakan para alumni yang tinggal di Cilacap,
termasuk dirinya.
Sudah
lima tahun terakhir, Febi bekerja sebagai tenaga pengajar di SMA Harapan Bangsa
(HB). Suatu kesempatan yang langka dan membanggakan. Meskipun sekolah swasta,
Harapan Bangsa termasuk sekolah unggulan di kota kecilnya. Lulusan HB banyak
yang masuk ke perguruan tinggi negeri bahkan HB punya kerjasama khusus dengan
beberapa perguruan tinggi di luar negeri. Sebelumnya mengajar di HB, Febi
pernah bekerja pada perusahaan asing di Papua dan bergabung dalam perusahaan
akuntan publik di Jakarta. Setelah ayahnya meninggal, ia memutuskan pulang ke
Cilacap untuk menemani ibunya dan menjadi guru honorer di SMA negeri.
Setelah
bertahun-tahun mengabdi, kesempatan pengangkatan belum juga menghampiri.
Padahal beban kerja yang ia terima sama dengan guru dengan status PNS. Kadang
justru lebih besar. Dengan alasan, ia masih lajang.
Febi
tidak menyesali keputusannya untuk tetap mempertahankan status lajangnya. Tahun
depan usianya sudah kepala 4, tapi ia tidak risau. Orangtuanya pun sudah
berhenti berharap. Toh, andil mereka cukup besar pada statusnya itu. Febi
percaya pada cinta sejati. Ia setia menjaga perasaan itu agar selalu segar
seperti embun. Febi juga tahu, cinta sejatinya akan datang pada reuni ini. Dan ia
yakin, cintanya akan berlabuh. Ia sudah mendengar berita-berita yang berembus.
Berita-berita yang ditiupkan untuk dipercaya. Berita tentang cintanya yang tak
lagi berdua. Ia yakin, cintanya melakukan semua itu demi kembali padanya.
Senyum
terkembang di kulit pucat Febi. Bersemu kemerahan, seperti pagi yang mundur 20
tahun.(*)
Komentar
Posting Komentar