(14 ) - PEREMPUAN DI BALIK HUJAN





. ERVAN .

Aku melihatnya pertama kali, saat hujan datang tak di undang. Turun lebat tak terkira, membanjiri selokan juga lapangan basket. Menggenang di beberapa lantainya yang coak. Menguyupkan jaring-jaring di keranjang dan membuatnya lunglai, tak lagi menarik untuk dimasuki bola.
Aku melihatnya pertama kali, di sini, di belakang perpustakaan. Tempat yang sama seperti aku selalu melihatnya. Memperhatikannya menangis. Tanpa ada nyali untuk mendekati dan menghiburnya.
Lalu tahun pun berganti-ganti. Dan aku masihlah pemuda yang memandang dari kejauhan. Seperti saat ini, setelah puluhan tahun berlalu. Dan aku diberi kesempatan untuk memandangnya lagi. Tapi, lagi-lagi, aku tak punya nyali untuk duduk di sampingnya dan merengkuh bahunya dalam pelukannku. Aku terlalu pengecut untuk mengambil tempat Adhit yang saat ini duduk di sampingnya. Aku masih laki-laki tolol yang memandangi dari balik pohon akasia yang semakin tua. Dadaku berdenyut-denyut. Amarah karena ketidakmampuan terasa menguasaiku. Jari-jariku mengepal. Aku pergi meninggalkan mereka yang saling memagut penuh gairah dan kerinduan. Hujan ini tolol! Perasaan ini tolol! Dan aku laki-laki paling tolol di muka bumi!
“Van, Ervan! Kamu ke mana aja, sih? Aku nyariin dari tadi.”
Dan dia perempuan paling tolol yang pernah kutemui. Kupikir istriku sudah cukup menyebalkan, ternyata perempuan dihadapanku, yang kini sibuk menghilangkan butiran-butiran hujan di bajuku dengan sapu tangannya, jauh lebih tolol.
“Nyari kamar mandi, Feb.”  Aku memaksakan senyum manis yang dibuat-buat.
“Di bagian belakang aula, kan ada kamar mandi, Van. Nggak perlu lagi pergi ke luar gedung. Hujannya deras sekali, nanti kamu masuk angin. Ayoklah kita kembali ke aula sampai hujan reda.” Perempuan tolol ini membimbing diriku seolah aku muridnya yang ketahuan kencing sembarangan dan akan di bawa ke guru BP.
Aku tidak pernah mencintai perempuan yang sekarang bersikap seolah aku adalah miliknya. Muak sekali rasanya. Sejak tiba di reuni ini, dia selalu menempel padaku seperti lintah. Apa harus kusulut dengan api panas agar terlepas? Cih! Tapi aku terus berusaha menahan rasa sebalku karena aku membutuhkan segala informasi darinya. Informasi tentang Shila. Perempuan yang membayangi imajinasiku selama puluhan tahun. Dan selama ini, perempuan bodoh ini selalu bisa memberikan informasi yang aku butuhkan. Meskipun pernah sekali dia menjadi tidak berguna. Saat aku tahu, Shila dan Adhit putus, lalu Shila menghilang entah ke mana. Bahkan dia tidak memberi tahu sahabat baiknya, Febi tentang keberadaannya atau pun kabarnya.
Bertahun-tahun aku mencoba melacak keberadaan Shila, hasilnya nihil. Katanya kekuatan cinta bisa memberikan keajaiban-keajaiban yang tidak diduga-duga. Tapi itu hanya bualan untuk membesarkan hati orang yang putus asa atau patah hati. Kekuatan cintaku yang sedemikian besar saja tidak bisa menemukan keberadaan Shila, meskipun kami sama-sama kuliah di Bandung. Satu-satunya kabar yang pernah kuterima dari Febi (herannya, komunikasi dengan dia tidak pernah putus), adalah Shila akan menikah dua hari lagi. Itu gila! Bagaimana mungkin waktu yang sedemikian sempit bisa membuatnya mengubah pendirian dan memaksanya untuk membatalkan pernikahan. Terlambat! Dan aku membenci Febi karenanya. Aku menjauh dan memutus semua komunikasi dengannya. Hingga akhirnya waktu semakin menua dan aku masih sendirian.
Orang tuaku berpikir aku tidak punya keberanian untuk mencari perempuan untuk kunikahi. Mereka hanya tidak tahu, aku terlalu putus asa untuk mencintai perempuan lain, selain Shila. Ketika mereka menyodorkan seorang perempuan cantik dari suku kami, aku seolah melihat bayangan Shila di sana. Aku pun setuju menikah dengannya.
“Kamu mau makan apa? Atau mau minum? Yang hangat-hangat, ya. Kamu, kan baru kehujanan.” Febi berbicara penuh perhatian padaku. Aku mencoba mengikuti permainannya, karena aku masih perlu informasi darinya.
“Teh hangat saja, Feb. Sama pasta panggangnya, ya. Agak banyakan, ya. Enak soalnya.” Aku melihat Febi tersenyum dan menjauh.
Mataku menjelajahi kerumunan teman-teman seangkatan yang sepertinya mulai bosan dan ingin segera pergi dari reuni ini. Pasti mereka heran, kenapa hujan bisa tiba-tiba turun, padahal sebelumnya panas sangat menyengat. Menyadari hujan masih saja deras, hatiku tiba-tiba sakit.
“Ini tehnya. Ini lasagnanya. Aku tinggal nggak masalah, kan? Adhit menghilang, dan bapak-ibu guru mau pada pulang karena hujan agak reda. Jadi aku harus menyalami mereka dulu.” Febi memandangku, meminta izin. Memangnya dia siapa sampai perlu izin dariku? Tapi toh, aku mengangguk juga. Dia tersenyum berterima kasih. Aku merasa jijik sekali.
Kusadari hujan sudah berhenti. Aku membayangkan mereka selesai berciuman dan sekarang sedang tertawa bahagia. Selalu begitu sejak dulu. Saat Shila menangis di belakang perpustakaan, Adhit pasti menciumnya. Dengan cara itu Adhit menenangkan dan meyakinkan Shila akan perasaannya. Aku yakin sekali. Aku tahu Shila sebetulnya tidak bahagia saat bersama Adhit. Dia pasti merasa terbebani. Apalagi para penggemar Adhit yang seperti setan itu, beberapa kali mereka berusaha mencelakai dan mengancam Shila agar putus dari Adhit.
“Mau tambah lagi lasagnanya? Kami sengaja memesan lebih banyak, karena makanan ini lagi digemari saat ini. Mungkin kamu tahu pembuatnya, Van. Dia alumni SMA 1 dan tinggal di Perumahan Sidanegara. Dulu orang tuamu tinggal di sana, kan?”
Febi tiba-tiba sudah berada di sampingku, duduk di kursi kosong di sebelahku.
“Sebelum pindah ke perumahan BUMN orang tuaku memang tinggal di sana. Siapa nama pembuat pasta ini? Mantap, nih buat oleh-oleh.”
“Aku lupa namanya. Katanya dia juga punya supermarket yang lumayan besar di daerah situ.”
“Kayaknya aku tahu. Coba carikan infonya, ya. Eh, sahabatmumu, Shila, dia nggak datang, ya? Kamu dulu pernah sibuk bantuin Adhit mencarikan makanan kayak gini buat dia, kan?”  Mata Febi berbinar-binar senang. Mungkin dipikirnya aku ingat tentang dia.
“Ah, iya. Shila emang suka banget pizza dan pasta. Sebenarnya ini permintaan Adhit, karena dia berharap Shila datang. Dan Shila memang datang. Pasti mereka lagi barengan sekarang, karena dua-duanya nggak ada.” Febi memandang berkeliling. Dua orang itu belum kembali rupanya.
“Kudengar Adhit duda, ya sekarang. Asyik, dong, mereka bisa jadian lagi.”
“Ya, Adhit duda. Istrinya meninggal 11 tahun yang lalu. Nggak lama sebelum Shila nikah. Sampai sekarang Adhit nggak mau nikah. Kupikir dia masih nungguin Shila. Kamu sendiri, kudengar kamu cerai, ya?” Aku melihat kilatan harapan di mata Febi. Pasti pertanyaan ini ingin dia lontarkan padaku sejak tadi.
“Dalam proses. Belum ketuk palu.” Aku mendengar bunyi ‘oh’ pelan.
“Kalau kamu, kenapa masih betah sendirian, Feb?” Pertanyaanku pasti mengejutkan dia, walau aku sendiri sudah tahu jawabannya.
“Belum ketemu yang cocok, Van,” jawabnya sambil menundukkan pandang.
Aku tahu kamu masih menungguku.
Tiba-tiba sebuah rencana berkelebat di kepalaku. Aku sendirian di kota ini dan aku perlu sesuatu untuk melampiaskan rasa kesalku karena tadi melihat kedekatan Adhit dan Shila.
“Nanti malam, mau nemenin aku makan, nggak?”
Febi menatap padaku dengan pandangan tak percaya. Aku seperti melihat lapisan kaca yang tipis di bola matanya. Kaca itu terlihat retak-retak dan hampir pecah.

*****

Pandangan mereka akhirnya bertemu. Hastuti cepat-cepat membuang muka seolah tak peduli. Dia berusaha untuk pura-pura tak peduli. Sebetulnya dia berharap agar laki-laki itu segera mendekat. Hastuti sudah tak sabar untuk menjeratnya. Sepanjang pengetahuannya, Wijat belum berkeluarga. Dengan tampilan ala selebritis, rasanya tidak mungkin seorang Wijat kesulitan mencari teman kencan. Rumor yang beredar mengatakan jika Wijat memiliki profesi sampingan sebagai gigolo ibukota. Hhmm, Hastuti tertantang untuk menaklukannya.
“Hai! Maaf, rasanya dulu kita sekelas, ya?” Wijat menegur Hastuti dari belakang.
Hastuti menghentikan obrolannya dengan beberapa teman laki-laki. Sebenarnya dia sudah mulai bosan dengan gerombolan laki-laki yang sedari tadi menguntitnya dan tidak membiarkannya sendirian sedikit pun. Bahkan minum pesanan Shila belum sempat dia berikan. Tapi itu tidak perlu lagi, pikir Hastuti. Toh, Adhit sudah mendekati Shila dan tidak lama kemudian Shila pergi lalu Adhit juga pergi. Hastuti penasaran dengan perasaan mereka berdua. Setelah sekian lama berpisah, apa mungkin getaran cinta itu masih ada?
“Kok, bengong? Ini aku Wijat. Wijatmoko. Kamu …,” Wijat menggantung kalimatnya. Dia berharap Hastuti akan segera menyambung kalimatnya yang terputus. Tapi dilihatnya perempuan itu hanya memandanginya penuh rasa ingin tahu. Alisnya terangkat sebelah. Ah, Wijat benci diremehkan.
“Ya?” tanya Hastuti.
“Ini Tutik, Jat. Yang dulu sering kamu isengin. Dulu kalian sekelas.” Seseorang dalam gerombolan memperkenalkan siapa yang sedang dihadapi Wijat.
“Oh!” Wijat sedikit terkejut.
“Kamu …, kamu beda banget! Dulu kamu …,”
“Jelek, item, gendut, keriting, hidup lagi.” Hastuti menyambung cepat. Nada suaranya terdengar sinis. Wijat sedikit terkejut, mundur selangkah dari hadapan Hastuti. Tangan sebelah kanan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia menyangka Hastuti pasti sangat dendam padanya. Misinya akan sedikit lebih sulit. Tiba-tiba Hastuti tertawa nyaring. Suaranya berdenting bagai lonceng-lonceng di hari Minggu. Tubuh Wijat menegang.
“Apa kabar, Jat? Kamu juga beda. Makin ganteng ajah,” Hastuti mengerling genit. Mengamati penampilan Wijat dari atas ke bawah. Hastuti melihat binar-binar di mata Wijat. Jangan senang dulu, Jat!
“Yang lalu biarlah berlalu, bukan begitu, Jat?” tanya Hastuti angkuh.
Wijat tersenyum kaku. Dia masih belum tahu bagaimana harus bersikap di hadapan perempuan ini. Dia teringat janjinya pada Bu Elli saat meminta izin cuti selama dua minggu disertai uang jalan yang tidak sedikit. Perempuan itu memekik tidak senang. Bukan karena jumlah uangnya, tapi karena dia tidak akan dapat bermesraan dengan Wijat selama dua minggu.
“Itu terlalu lama, Wi. Aku tidak akan tahan kesepian selama itu.” Bu Elli terlihat gelisah dan berjalan mondar-mandir di ruangannya.
“Sabarlah, Sayang. Semua ini kulakukan demi tender kita yang hilang.”
“Sudah kukatakan aku tidak peduli pada tender itu, Wi. Kita bisa cari proyek-proyek yang lain bersama-sama. Tidak! Aku menolak cutimu.”
“Satu minggu saja, kalau begitu. Aku janji akan menyelesaikan urusan ini secepatnya. Lagi pula aku perlu menghindar beberapa waktu dari kantor. Mereka sudah mulai berbisik-bisik karena aku masih bekerja di sini dan tiba-tiba kamu jadi berbaik hati lagi padaku.” Bu Elli termenung. Wijat benar. Orang-orang kantor pasti heran kenapa dia yang tadinya marah besar pada Wijat dengan mudahnya kembali baik. Mereka pasti mencium sesuatu. Dan jika sampai suaminya tahu hubungan gelap mereka, dia bisa kehilangan segalanya.
“Baiklah. Seminggu. Tidak boleh lebih. Anggap itu sebagai hukuman karena kita kehilangan proyek itu. Dan, jangan berbuat macam-macam!” Nada suara Bu Elli mengandung ancaman, matanya mengisyaratkan jika kali ini tidak akan ada maaf untuk Wijat. Dia harus lebih berhati-hati dalam melangkah.

“Aku, aku …, minta maaf atas kekonyolanku di masa lalu, Tik. Kamu tahulah masa itu, darah kita masih panas-panasnya.” Akhirnya suara Wijat keluar juga setelah beberapa lama terdiam.
“Oh, ya, tentu aku paham.” Hastuti meminta izin kepada gerombolan pria di belakangnya dan berjanji akan saling berhubungan lagi.
“Aku lelah. Bisa kau keluarkan aku dari ruangan ini? Bawa ke mana pun yang menurutmu baik.”
Wijat mengerjap. Tidak menyangka akan semudah itu mendapatkan kesempatan dari Hastuti. Dia memberi tanda agar Hastuti mengikutinya. Lalu mereka meninggalkan ruangan sambil sesekali mengobrol. Dada Wijat berdesir. Dada Hastuti memanas. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEN IN THE LOCKERS

AWALNYA

(16) - SERANGAN AWAL