(13) - TIME TO REMEMBER : bagian 2





.SHILA.

Dua puluh tahun yang lalu, aku menantimu di terminal kota. Waktu itu baru beberapa hari kita menanggalkan seragam putih abu-abu. Kamu, aku, dan beberapa teman yang lain sepakat untuk melanjutkan kuliah ke Jogja. Kita semua sepakat akan pergi menggunakan bus meski mendapat tentangan dari orang tua.
"Adhit akan jaga Shila, Tante. Tenang saja. Kita akan menginap di rumah neneknya Febi. Baru besoknya kita cari kos-kosan."
Entah apa pesona yang kamu miliki sehingga begitu mudahnya papa dan mama memberikan izin. Pasti karena kamu adalah anak tunggal Kepala Kilang, atasan papa. Dan orang tuamu, mereka justru memintaku menjaga dirimu. Kata mereka, kamu memaksa pergi beramai-ramai dan menolak diantar mobil pribadi. Suatu hal yang tidak pernah kamu lakukan sebelumnya dan kini kamu lakukan, karena aku.
Mamamu memandang dan memelukku bahagia. Dia menangis di pundakku. Kami minta izin untuk pergi kuliah, bukan minta izin untuk menikah. Sungguh aneh mamamu itu.
"Terima kasih sudah membuat Adhit lebih hidup."
Aneh bukan? Aku tak tahu kalau kamu pernah mati. Atau setengah mati? Entahlah. Dan mamamu memang aneh. Dia bilang hal-hal yang tidak bisa dicerna otak kecilku. Katanya, kamu sungguh berbeda saat bersamaku. Begitu bahagia, begitu bersemangat. Mamamu hampir putus asa saat kamu pernah menolak pergi sekolah dan ingin mengurung diri selamanya di dalam kamar. Kamu begitu rapuh waktu itu. Seperti kue yang dipanggang terlalu lama hingga kehilangan kadar airnya. Perumpamaan yang lucu, pikirku. Aku tidak tahu pernah ada episode seperti itu dalam hidupmu.
"Jaga dia baik-baik, Shila." Mamamu memelukku sekali lagi dan menyelipkan cincin bermata merah di jariku. Sungguh! Ini benar-benar aneh.
Mamamu salah. Kamulah yang menjagaku selama ini. Kamu tidak pernah mengizinkan aku untuk celaka atau tergores sedikit pun. Kamu memperlakukan aku seperti kaca yang rapuh. Aku memang menjadi rapuh bila bersamamu. Dan aku semakin terbiasa dengan sifatmu yang terlalu menjagaku. Tapi aku bahagia. Bahagia selama ada kamu di sisiku.
Untuk apa cincin ini? tanyaku pada mamamu saat itu. Mamamu bilang, cincin itu sebagai rasa terima kasihnya karena membuatmu bahagia. Kubilang, aku tulus menyayangimu, tak mengharap pamrih apapun. Lalu kucoba mengembalikan cincin itu pada mamamu. Dia menolak. Katanya, aku harus menyimpan cincin itu selama aku masih mencintaimu.
Aku masih mencintaimu dengan teramat sangat, Dhit. Meski takdir tak berpihak pada kita. Meski kamu meninggalkanku di terminal kota sendirian. Hingga semua teman-teman kita pergi, aku masih menunggumu. Terus menunggumu hingga matahari tergelincir di barat. Sendirian, kedinginan dan kesepian. Aku menelepon rumahmu berkali-kali, tapi tak ada yang mengangkat. Aku mulai cemas. Berpikir untuk pulang dan mencari kabar tentangmu. Tapi aku takut kamu tiba-tiba datang. Aku bingung, Dhit. Mataku mulai basah. Hujan mulai menitik. Kamu tahu, kan kalau aku menangis, hujan akan turun?
Hujan semakin menderas. Aku memeluk tubuh yang semakin gigil. Tidak kuhiraukan preman-preman yang mulai bersimpati padaku. Mereka pikir mungkin aku setengah gila karena ditinggal sendirian oleh pacarnya di terminal. Dan tiba-tiba kamu muncul. Seperti kunang-kunang di kegelapan malam. Aku lega. Bahagia. Tapi aku terlalu cepat bahagia. Kata-katamu meluncur terlalu cepat untuk kucerna.
"Jangan pernah temui aku lagi, Cila! Untuk alasan apapun, jangan pernah mencariku!"
Lalu kamu pergi dalam tirai hujan yang semakin rapat. Meninggalkanku yang mematung dan menggigil. Angin semakin terasa menusuk pori-pori kulitku. Hujan menghajar bumi demikian keras. Aku sakit. Hatiku sakit. Begitu sakit hingga tak terasa kakiku melangkah belasan kilometer jauhnya. Dari terminal hingga di depan pintu rumah. Hari sudah cukup larut saat tanganku mengetuk pintu rumah. Tubuhku mulai biru. Dan aku tak sadarkan diri begitu papa membukakan pintu.
Sejak itu, hujan deras turun berhari-hari. Meski aku bisa mendengar nyanyian dalam derai hujan, inderaku telah mati. Dan saat hujan akhirnya berhenti, air mata terakhirku meninggalkan bumi. Aku tak bisa menangis lagi sejak itu, Dhit. Mama dan papa hanya menganggap aku patah hati karena kehilanganmu. Dan akan segera sembuh. Mama salah. Papa juga salah. Aku tidak pernah sembuh. Aku yang sekarang adalah diriku yang lain. Bukan Shila saat bersama Adhit. Bukan Shilanya Adhit.
Aku pun menguncimu dan segala kenangan kita dalam salah satu lockerku. Berharap kenangan tentangmu dimakan belatung atau digerogoti rayap. Semua berita tentangmu tak ingin kudengar, juga kuketahui. Aku tahu kamu akhirnya menikahi seseorang. Tapi aku tak ingin tahu itu siapa. Dia pastilah seseorang yang lebih pantas untukmu. Akhirnya kamu menyadari, jika aku memang tidak pernah pantas untukmu. Seharusnya aku menyadari itu sejak dulu.
"Kamu masih mencintai aku. Benar, kan?"
Adhit duduk di sebelahku. Memperhatikan aku yang memainkan cincin bermata merah yang melingkar di jari manis.
‘Pakailah selalu jika kamu masih mencintai Adhit.’
Aku selalu mengenakannya selama 20 tahun ini.
"Tempat ini masih menjadi favoritmu kalau menangis, ya?"
Kamu pasti langsung kemari, ke belakang perpustakaan, saat kamu tidak menemukan aku di aula dan hujan mulai turun. Seperti masa lalu.
"Tempat ini sudah banyak berubah," kataku sambil menghapus air mata. Hujan mericis, mendung masih bergelayut.
"Tapi kamu masih sama. 20 tahun tidak membuatmu tua, ya?"
Adhit menatap wajahku. Tangannya terulur menghapus air mata yang menetes.
Aku pernah berharap agar waktu berhenti saat kami berdua. Melarikan detik demi detik pada dimensi waktu yang lain. Di mana hanya ada aku dan dirimu. Hujan kembali menderas. Adhit merengkuh tubuhku dan melarikannya dalam pelukan.
"Maaf. Maafkan aku." Suaranya berbisik lembut di telingaku. Wajahnya menyusupi rambut dan bersembunyi di sana. Aku merasakan bahunya bergetar. Dia sama seperti aku. Kami berdua mengalami sakit yang sama. Sakit yang hanya bisa hilang dengan kebersamaan. Tapi takdir tetaplah takdir yang tertulis sejak kami lahir. Tak ada tempat untuk kami bersama.
"Kamu tahu? Aku selalu menunggu saat hujan turun. Rasanya aku mendengar suaramu tertawa dan memanggil namaku saat hujan deras. Mama sempat mengira aku gila. Kamu harus ketemu mama, Cila. Dia pasti senang bertemu denganmu."
Adhit memegang kedua bahuku dan menatap mataku lekat-lekat.
"Ma-ma?"
"Ya. Mama. Yang memberimu cincin itu. Dia hidup sendirian sekarang. Papa sudah meninggal empat tahun lalu."
"Ma-af. Aku..., aku tidak tahu."
Adhit tersenyum. Senyum sama yang dulu selalu menemani hari-hariku. Senyum yang menghangatkan, seperti matahari di awal musim hujan.
"Bukan salahmu. Kamu menghilang. Kamu tak pernah memberiku kesempatan."
Adhit menangkupkan kedua tangannya pada wajahku. Membuat rasa hangat menjalar dari wajah turun ke hati.
"Kamu yang menyuruhku. Ingat? Kamu bilang jangan pernah menemui dan mencarimu. Apa pun alasannya."
Adhit memelukku lagi. Kali ini lebih erat.
"Aku bodoh. Aku tak bisa berpikir jernih waktu itu. Aku sungguh menyesal. Maafkan aku, Cila."
Kali ini aku membalas pelukannya. Membiarkan tubuh dan rasa rinduku membaur dengan tubuhnya. Ah, harum tubuh Adhit berbeda sekarang. Tapi aku suka. Menenangkan. Aku menggeliat pelan, mencoba lepas dari pelukannya.
"Dhit?"
"Huum."
"Meski tidak akan mengubah apa pun di antara kita. Kamu tahu ..., kamu, aku, kita. Sekarang situasi kita berbeda. Aku dan keluargaku, kamu dan keluargamu. Tapi ..., aku, aku, butuh penjelasan darimu. Tentang hari itu. Ka-mu tahu, kan? Ha-ri i-tu."
Aku menolak ingat tentang hari itu. Tapi aku harus tahu mengapa dia tiba-tiba meninggalkan aku. Meski dia pernah melarangku untuk mencari tahu, tapi saat ini aku harus tahu. Karena itulah aku datang ke reuni ini. Mencari jawaban yang seharusnya kudapatkan puluhan tahun lalu. Mencari jawaban agar aku bisa mengosongkan locker berisi dirinya.
"Aku menyesal, Cila. Sungguh-sungguh menyesal. Seandainya aku punya kemampuan indigo sepertimu, aku ingin memiliki kemampuan retrokognision. Aku ingin kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya."
"Menulis ulang takdir kita?" aku tertawa getir, "kenyataannya, tak ada yang bisa diperbaiki sekarang."
Aku memandang sedih wajah Adhit. Pandangannya yang teduh. Keriput tipis di dahi dan sudut mata. Bahunya yang sedikit melorot. Dia terlihat sangat letih.
"Banyak yang ingin aku ceritakan. Banyak. Banyak sekali. Beri aku waktu khusus. Setelah reuni?"
Aku berpikir sejenak. Tapi dia benar, dia harus menjelaskan banyak hal untuk menjawab banyak pertanyaan. Dan itu tidak mungkin dilakukan saat ini. Di sini.
"Aku juga serius tentang keharusanmu bertemu mama."
Aku memandangnya tak mengerti.
"Kenapa harus? A-ku, aku nggak tahu harus bicara apa sama mama."
"Mama punya sesuatu yang harus diberikan padamu. Surat-surat titipan istriku."
"Istrimu?"
Adhit mengangguk. "Istriku."
Tiba-tiba aku seperti ditarik ke alam kenyataan. Pikiranku menjadi lebih awas dan lebih waspada. Tanpa sadar aku menggeser dudukku menjauhi Adhit. Wajah dan tubuhku menghadap ke depan. Memandangi kebun botani yang saat ini sudah bermetamorfosis menjadi sebuah Green House yang teramat cantik. Sekarang, berbagai macam umbi dan tanaman sub tropis tumbuh di sana.
"Mengapa dia tidak memberikan langsung padaku? Atau berbicara sendiri denganku?" Kata-kataku terdengar dingin. Tubuhku sedikit menegang. Ini tidak adil. Mengapa aku harus kesal?
"Dia tidak bisa," jawabnya lirih, "dia sudah meninggal, Cil."
Aku memandangnya tak percaya. Tangan kananku menutup mulutku yang sedikit menganga. Samar-samar aku teringat kata-kata Hastuti. “Kabarnya dia sekarang duda.”
"A-ku..aku..."
Entah apa yang ingin kukatakan. Istri Adhit sudah meninggal? Kapan? Kenapa? Dan dia menitipkan surat-surat untukku? Tiba-tiba aku merasa lelah. Ribuan semut-semut berjalan dari perut menuju rongga dada. Ribuan semut yang kini menggigiti hatiku. Aku mulai menangis. Gerimis turun lagi. Semakin lama semakin deras. Aku tidak sedang menangisi kabar kepergian istrinya Adhit. Tidak. Aku menangisi nasib kami. Adhit sekarang seorang diri. Kami tetap tidak bisa bersama.
Aku merasa tangan Adhit merengkuh pundakku.
"Dia meninggal saat melahirkan anak kedua kami. Sebulan sebelum kamu menikah. Waktu itu, aku tidak cukup punya keberanian untuk mencarimu. Kupikir kamu pasti sudah menikah dan bahagia."
Aku mengangkat wajah. Memandangi wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku. Napasnya terasa hangat berembus di pipi. Entah siapa yang pertama memulai. Entah siapa yang begitu ingin melakukan. Entah hasrat siapa yang begitu besar membuncah. Aku memanggil awan-awan gelap untuk menaungi udara. Menurunkan butiran-butiran hujan yang rapat dan sulit untuk ditembus. Di sini, di belakang perpustakaan, di depan GH Klub Botani, saat umbi-umbi tulip berjuang tumbuh pada temperatur yang diatur, aku berjuang menekan harapan-harapan yang tumbuh cepat sekali. Aku hanya ingin menikmati sekali lagi rasanya kenangan itu. Ciuman-ciuman, pelukan-pelukan. Juga kulitnya yang menyentuh kulitku. Membuat ribuan semut merayap keluar dari dalam dada dan menggigiti seluruh tubuhku.
"Kamu tahu, Cila?" tanyanya saat bibir kami terlepas sesaat. Aku menggeleng lemah.
"Hujanmu sudah mengacaukan reuni dan mengurung mereka semua di aula."
Aku mencoba untuk tertawa tapi bibir Adhit lebih cepat mengulumku dan menjelajahiku.
Biarlah. Biarlah saat ini saja. Kali ini saja.
Hujan...
Turunlah sederas-derasnya. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEN IN THE LOCKERS

AWALNYA

(16) - SERANGAN AWAL