(3) - MEMORABILIA FEBI
Bab 3
MEMORABILIA FEBI
Aku
mengenalnya sejak SMP. Kami pernah satu kelas selama tiga tahun. Kupikir dia
akan melanjutkan ke SMA Negeri 1, seperti teman-teman akrabnya yang lain.
Ternyata tidak. Dia bersekolah di SMA yang sama denganku. SMA Harapan Bangsa.
Sayangnya, selama tiga tahun di SMA, kami tidak pernah satu kelas. Dia memilih
jurusan Biologi, sementara aku masuk kelas Fisika.
Dia
sangat pemalu. Dan tidak percaya diri. Aku yakin itu. Dia tak ingin hubungan
kami ditunjukkan terang-terangan di muka umum. Dia lebih suka menemuiku di
rumah atau saat aku sendirian di perpustakaan. Tapi dia selalu menghindar saat
mata kami bersitatap di keramaian. Pernah aku tanyakan padanya, mengapa dia
seolah tak kenal aku jika di muka umum? Dia bilang, dia tak ingin teman-teman
mengolok-olok aku. Cukup dia, tubuh gempalnya, dan mata sipitnya saja yang
menjadi bahan olokan teman-teman. Jangan sampai aku ikut mengalami juga. Oh,
sungguh dia pahlawan bagiku.
"Hei!
Dari tadi senyum-senyum sendiri. Ngelamunin apa, sih?"
Shila
menepuk punggung tanganku. Sepiring nasi goreng di hadapannya sudah habis.
Sementara aku, masih mengaduk-ngaduk mi goreng yang baru kumakan beberapa sendok
saja. Napsu makanku hilang.
"Mi
gorengnya boleh buat aku, nggak? Kayaknya nggak akan kamu makan, kan?"
Shila mengulurkan tangannya padaku.
"Astaga,
Shil! Kamu baru aja ngabisin sepiring nasgor. Dan itu porsi jumbo, Shil. Inget
badan, Shil! Inget kecantikan kita!"
"Febi
..., aku sudah laku. Kayaknya nggak terlalu mempermasalahkan soal body, deh. Aku sekarang laperrr banget!
Tadi siang cuma makan beberapa iris lontong dan daun selada di Ciamis. Pas mau
beli makan sore di depan penginapan, ada yang nelpon, janji mau traktir makan
malam. Tapi dia membuat aku menunggu satu jam lebih! Kamu tahu, nggak siapa
orangnya?"
Aku
meringis. Orang itu adalah aku. Aku terlambat menjemput Shila karena ada
seseorang yang tiba-tiba menghubungiku dan minta dicarikan penginapan. Aku
merasa bersalah padanya. Akhirnya mi goreng di hadapanku berpindah tempat ke
hadapan Shila.
"Pelan-pelan
makannya, Shil. Jangan lupa ngunyah. Jangan lupa bernapas."
Shila
melotot sebentar lalu melanjutkan makan.
Aku
meraih smartphone yang tergeletak di
sampingku. Ada pesan whatsapp baru
masuk. Dari dia. Dia yang kurindukan selama 20 tahun.
***
(22 tahun yang lalu)
Napasnya
terengah-engah saat mengetuk pintu rumahku. Wajahnya merah jambu dengan butiran
keringat mengumpul di dahinya. Sepeda federalnya terparkir di belakang mobil
papa. Aku mengernyit heran melihatnya. Setahuku, dia punya motor Honda Tiger
yang lebih sesuai dibanding sepeda gunung yang kelihatannya terlalu kecil untuk
tubuhnya yang tinggi besar. Jarak dari rumanya ke rumahku pun sangat jauh.
Pantas dia terengah-engah kehabisan napas.
"Masuk,
Van!" Aku membuka pintu lebih lebar dan mempersilakannya masuk.
"Duduklah.
Aku ambilin minum, ya. Mau yang dingin atau yang biasa?"
"Dingin,
boleh?" Aku mengangguk. Kulihat dia menyandarkan kepalanya di sandaran
kursi. Sepertinya dia betul-betul kelelahan.
"Kamu
habis dari mana? Sampai ngos-ngosan gitu. Motormu ke mana?" Aku meletakkan
segelas air sirup di campur es batu, gelas kosong dan sebotol air putih dingin
di hadapannya.
"Dari
rumah. Emang sengaja mau kemari," jawabnya sambil menenggak habis es sirup
melon. Dia menuang air putih ke gelas bekas sirup lalu menenggaknya lagi hingga
hanya tersisa es batunya saja.
"Capek
banget, ya?" Aku membayangkan jarak 10 km yang dia tempuh dengan
bersepeda. Dia meletakkan gelas di hadapannya. Wajahnya sudah lebih segar
sekarang.
"Iya,
capek banget. Aku ngebut datang ke sini. Takut kamu keburu pergi."
"Pergi
ke mana?"
"Ini,
kan malam Minggu. Aku takut seseorang duluan jemput kamu buat di ajak
jalan."
Astaga!
Pipiku menghangat. Tak terpikir sedikitpun olehku, semua yang dia ucapkan itu.
Aku tidak punya pacar, siapa yang akan mengajakku kencan? Satu-satunya lelaki
yang dekat denganku saat ini adalah dia yang sedang duduk melepas engap di hadapanku.
Ervano Wildan Angkasa.
"Motormu
mana?" tanyaku sambil melirik ke arah sepedanya terparkir di garasi.
"Dipinjam
adekku. Buat ngapelin ceweknya."
"Kamu
sendiri ngapelin cewek pake sepeda?" Aku tergelak geli. Rasa hangat
menjalari dadaku.
Kuperhatikan
Ervan tersenyum tipis padaku. Senyum yang susah untuk diartikan. Apakah itu
senyum miris karena dia meminjamkan motor pada adeknya sedang dia naik sepeda?
Atau senyum sinis yang berarti kedatangannya ke rumahku bukan berarti apel? Aku
tak mau membesarkan dugaan yang itu. Aku harus yakin jika Ervan memang menyukaiku,
karena itulah malam Minggu ini dia ada di sini bersamaku. Juga malam
Minggu-malam Minggu selanjutnya.
Sayangnya
Ervan sangat pemalu. Setiap malam Minggu kami hanya menghabiskan waktu di rumah
saja. Bercerita tentang kegiatanku atau kegiatannya selama seminggu. Kelas kami
berbeda. Saat penjurusan di kelas dua, saat Ervan mulai mendekatiku, dia masuk
di kelas Biologi 2A2-2. Sedangkan aku sekelas dengan Shila dan Adhit di 2A1-1.
Kami
tak pernah jalan ke tempat umum meskipun hanya makan bakso di tepi jalan. Ervan
lebih suka membawa makanan saat apel. Kadang martabak, molen goreng, dages,
mendoan, tahu brontak, atau siomay jeki yang suka mangkal di depan kolam renang
perumahannya. Ervan bilang, dia tidak nyaman berduaan di tempat umum. Dia takut
kepergok temannya, lalu tersebar berita tak baik di sekolah. Dia tak ingin
ketahuan Nunu, teman sekelasku, yang terkenal suka mengolok-olok. Dia sudah
cukup lelah menahan kesal karena Nunu sering mengejeknya 'boboho monde', montok
gede. Hanya karena kulitnya yang putih, mata sipit, dan tubuhnya yang tinggi
besar. Padahal Ervan bukan keturunan China sama sekali. Ervan tidak seganteng
Adhit, pacar Shila, atau sekeren Wijat, anak IPS yang gayanya seperti Ali Topan
anak jalanan. Tapi Ervan tidak kalah baik dari Adhit, yang menurutku terlalu over protected sama Shila. Padahal, yah,
Shila bukan cewek tercantik di sekolah. Tapi bukan berarti dia tidak menarik.
Maksudku, Adhit nggak perlulah takut banget kehilangan Shila. Malah seharusnya
Adhit berpikir, jika dia terlalu mengekang Shila, ada kemungkinan Shila akan
lari.
“Mungkin
ada sesuatu dalam diri Shila yang bikin Adhit terpesona,” Ervan hanya
mengangkat bahu saat kuceritakan pikiranku itu. Mungkin Ervan benar. Dan hanya
Adhit yang tahu apa pesona Shila itu.
Aku
sendiri cukup bahagia dengan hubunganku
dan Ervan, meski terkesan back street.
Bahkan aku harus main rahasiaan dengan Shila, teman sebangku sekaligus
sahabatku sendiri. Saat Shila bercerita tentang hubungannya dengan Adhit, aku
hanya bisa menanggapi sambil tersenyum. Menahan mulutku agar tak keceplosan bercerita
tentang Ervan. Malam Minggu saat Ervan datang ke rumah, aku pun menumpahkan
cerita tentang Adhit dan Shila kepadanya. Aku berharap dia paham, bahwa aku pun
ingin hubungan kita semanis mereka. Seperti biasa Ervan menanggapi ceritaku
hanya dengan senyuman dan ucapan pendek.
"Kita
berbeda. Hubungan kita lebih spesial."
Maka
aku percaya, bahwa hubungan kami memang spesial. Lebih berarti dari sekedar
pacaran anak SMA. Buktinya, saat hubungan Shila dan Adhit renggang dan hampir
putus, kami tetap bertahan. Aku sangat bersyukur karenanya.
"Jadi
Shila sudah putus dengan Adhit?" tanya Ervan saat aku selesai menumpahkan
kekesalanku padanya.
"Kata
Shila, sih belum. Dia bilang Adhit hanya ingin menjaga jarak. Aku sebel aja
sama Shila, mau-maunya di bikin ngambang sama Adhit."
"Pantesan
beberapa hari ini aku nggak pernah lagi lihat Shila pulang bareng Adhit."
"Kamu
ngamatin juga?" tanyaku heran. Ervan sedikit terkejut.
"Tanpa
sadar iya, sih. Mereka, kan pasangan paling populer satu sekolah. Cewek-cewek
di kelasku aja sibuk bergosip tentang mereka. Bahkan ada yang seneng kalau
mereka putus."
Ervan
benar. Hubungan Shila dan Adhit memang sering jadi bahan gosipan cewek-cewek.
Kadang aku kasihan sama Shila, jauh di lubuk hatinya pasti dia terbeban dengan
hubungannya.
"Sebenarnya
aku juga mikir, sih. Apa yang dilihat Adhit dari Shila? Adhit tu sempurna
banget jadi cowok. Pinter, kaya, ganteng. Dia bisa dapetin cewek yang paling
cakep di sekolah. Tapi malah milih Shila."
Aku
memandang Ervan, membenarkan perkataannya dalam hati.
"Kamu
sendiri kenapa suka sama aku? Sebagai kapten tim basket, kamu punya popularitas
yang nggak kalah sama Adhit."
Ervan
memandangku teduh.
"Kamu
sudah menarik perhatianku sejak lama. Sejak SMP. Hanya saja aku tak pernah
berani mendekatimu. Kamu itu pinter. Selalu rangking 1. Aktif di organisasi.
Selalu di kelilingi temen-temen yang setia sama kamu. Sedikit saja ada cowok
yang deketin kamu, temen-temen jumbomu itu selalu pasang aksi waspada. Aku jadi
minder, lah!"
Ervan
benar. Saat di SMP, aku dan ketiga teman akrabku memang pernah berjanji untuk
tidak jatuh cinta pada cowok yang salah. Jadi setiap ada cowok yang mendekati
kami, selalu diselidiki latar belakangnya dulu sebelum diputuskan layak atau
tidaknya cowok itu jadi pacar salah satu dari kami. Aku ingat, Ervan memang
pernah menggodaku dan salah seorang dari kami. Itulah yang membuat dirinya
menjadi tidak layak. Dia dianggap cowok yang suka tebar pesona. Tapi akhirnya
kami sadar, peraturan kami itu malah membuat kami dijauhi cowok dan tidak punya
pacar selama SMP.
"Bulan
depan kamu ulang tahun, kan? Mau kado apa?" tanya Ervan tiba-tiba.
Mamah
sudah mempersiapkan pesta sweet seventen
untukku. Sebenarnya aku ingin Ervan berdiri di sampingku saat potong kue nanti.
Tapi pasti dia tidak mau.
"Menurutmu
aneh, nggak kalau aku tiba-tiba datang? Kita, kan seperti orang tidak kenal
kalau di sekolah."
Menurutku,
yang aneh itu karena kamu baru menyadarinya sekarang, Ervan!
"Bukannya
kalian para cowok selalu menyerbu setiap pesta, walau tanpa undangan?"
Ervan
tertawa. Aku tahu dia saat ini sedang mendekati geng Nunu, yang ditakuti satu
sekolah. Bukan saja karena sering bikin onar, geng Nunu paling suka mengerjai
orang. Sekalinya dikerjai, Nunu dan geng tak akan melepasnya. Tapi aku merasa,
Ervan tidak sedang mencari aman agar Nunu berhenti mengoloknya. Dia hanya
mencari cara agar dia bisa mengamatiku di sekolah tanpa takut hubungan kami
tercium. Karena Nunu dan gengnya selalu nongkrong di depan kelasku.
“Kalau
gitu, kita rayain berdua aja ulang tahunmu itu. Malam Minggu besok siap-siap,
ya? Kita makan malam di luar.”
Aku
terhenyak. Ini pertama kalinya Ervan mengajakku keluar. Dan aku pastikan, malam
spesial itu akan menjadi yang tak terlupakan! (*)
Komentar
Posting Komentar