(5) - PELANGI DEIRA





Mobil Honda Jazz hijau melaju kencang. Menerobos lampu merah beberapa kali. Rodanya berdecit-decit saat berbelok di jalan MT. Haryono. Siapa yang berani menilangku? Hari ini hari Minggu, petugas patroli pun butuh istirahat. Aku pun mengurangi kecepatan saat memasuki jalan Progo yang lebih kecil. Berhenti di depan pagar besi yang tinggi. Membunyikan klakson beberapa kali, hingga seseorang keluar tergopoh-gopoh dan membuka gerbang.
"Kelamaan buka pintunya, Bik! Heran, deh, Mas Seto masih aja ngegaji Bibik yang udah peyot! Nih, bawain bubur ayamnya, terus taruh di mangkuk. Jangan lupa bikinkan teh manis. Panas, bukan hangat! Ingat!" Aku memelototi Bik Das. Dia selalu salah membuatkan teh manis panas untukku. Entah karena dia sudah tua dan pikun, atau disengaja agar aku kesal.
"Dari mana pagi-pagi, Dek?" Mbak Lutik meletakkan teh manis yang baru diseruputnya.
"Dari lontong Pak Mul. Kangen sama bubur ayamnya. Ira beli lontong buat Mas sama Mbak. Juga buat anak-anak dan Bik Das."
"Kenapa repot-repot? Bik Das dah nyiapin mendoan anget dan sambel kecap buat sarapan. Kesukaanmu." Mbak Lutik membantu Bi Das membuka bungkusan lontong dan bubur, menuangkannya di mangkuk dan menatanya di meja.
"Mendoan dan bubur bisa dimakan bareng, Mbak. Jangan kuatir. Tapi tolong bilang sama Bibik pikun itu supaya bikin teh manis panas buatku yang bener. Panas. Bukan anget!" Aku mengerling galak sama Bik Das yang terlihat tak acuh. Masih sibuk menata sendok di meja.
"Heran, kenapa Mbak sama Mas masih saja mempekerjakan dia," sambungku.
"Hush! Bik Das itu dah puluhan tahun mengabdi. Dari zaman Mbak belum nikah sama Mas-mu sampai sekarang. Susah cari orang bantu-bantu yang jujur kayak Bik Das." Mba Lutik merangkul Bik Das dan tersenyum padanya.
"Sana panggil, Mas Seto! Ajak sarapan, jangan ngurusi koi-nya terus." Mba Lutik menyuruhku. Aku pun melangkah enggan ke halaman samping. Ke kolam koi milik Mas Seto.
Di rumahku di Semarang, tidak ada seorang pun yang berani menyuruhku melakukan ini itu. Suamiku pun tidak. Dia lebih memilih menyuruh pembantu kami yang berjumlah tiga orang ketimbang mengganggu aktifitas yang sedang kulakukan. Tapi di rumah Mas Seto, adat berlaku. Sebanyak apa pun hartaku, setinggi apa pun derajatku, tetap saja aku adalah adik bungsu Mas Seto. Aku harus mematuhi aturan Mas Seto dan Mbak Lutik, harus nurut dan menghormati mereka.
Sebenarnya aku enggan menginap di rumah mereka. Jika boleh, aku ingin menyewa kamar di hotel saja. Tapi Mas Seto akan marah besar jika tahu aku pulang, tapi tidak menginap di rumahnya. Apalagi rumah ini adalah rumah keluarga, yang diamanatkan kepada Mas Seto sebagai anak sulung, sejak orang tua kami meninggal. Rumah ini tempat kami, lima bersaudara, ngumpul tiap lebaran. Dan tempat kami merasa memiliki kampung halaman. Ketiga kakakku yang lain, sama sepertiku, merantau ke kota lain hingga ke pulau seberang.
Alasan lain aku enggan tinggal di rumah ini, dan ini alasan paling penting, adalah aku jadi sedikit terganggu mencari buruan. Selama dua hari di sini, belum sekali pun aku keluar untuk berburu. Mas Seto tidak mengizinkan aku pulang terlalu larut. Katanya, selama aku jauh dari suami, aku menjadi tanggung jawabnya. Ini menyebalkan! Dan aku tidak bisa terlalu lama memendam hasrat berahiku. Aku tidak mau harus memuaskan diri sendiri. Tidak! Selagi masih banyak lelaki yang bersedia, kenapa aku harus mengotori tanganku?
"Mas? Mas inget sama Kedasih, temenku yang dulu sering nginep di rumah?" tanyaku saat sarapan. Mas Seto menghentikan kunyahannya dan berpikir sejenak.
"Yang anaknya orang Pertamina itu? Ya, ya, kenapa? Apa kabarnya dia sekarang? Tinggal di mana?"
"Dia udah nggak di komplek lagi. Bapaknya udah pensiun, sekarang tinggal di Jalan Perkutut."
"Oh."
"Mmhh ..., Ira boleh nggak nginep di rumah dia, Mas? Mau kangen-kangenan. Soalnya ada temen yang baru datang dan nginep di rumah Asih. Kami pengen ngobrol puas dulu sebelum acara reuni. Boleh, ya, Mas?" Aku menatap Mas Seto takut-takut. Mas Seto terlihat berpikir sejenak.
"Masa, nggak boleh,tho, Mas? Ira ini bukan anak kecil lagi. Anaknya udah dua..."
"Empat, Mbak," ralatku cepat.
"Maksud, Mbak ..., ya, empat. Tujuan dia kesini, kan mau reunian sama temennya. Ya, kasihlah dia kebebasan sedikit."
"Aku udah janji sama suaminya, Tik."
"Emangnya Ira mau ngapain? Kamu nggak ada niat mau berbuat yang aneh-aneh, kan, Ra?"
Aku menggeleng cepat.
"Ya, sudah. Tapi kamu harus telepon suamimu. Pamit. Nanti kalau dia telepon, kan Mas enak jawabnya."
Aku mengangguk mengiyakan. Suamiku paling hanya akan bilang, hati-hati. Jaga diri. Selamat bersenang-senang.
Aku memang akan bersenang-senang. Aku juga tidak sepenuhnya berbohong. Lepas Magrib, aku pergi ke rumah Asih. Berkumpul dan bercanda dengan yang lain. Saling melepas rindu dan bercerita. Lalu jam sepuluh malam aku pamit keluar. Kubilang ada janji mendadak. Sesungguhnya aku telah menemukan cara untuk menuntaskan gairah yang meletup-letup seperti air yang bergolak. Dan aku sudah bosan dengan obrolan yang saling mengenang pacar-pacar dan kisah cinta di SMA. Sungguh! Aku muak! Karena kisah cintaku sendiri harus terputus hanya gara-gara masalah sepele.

***

(23 tahun yang lalu)

Pelangi pelangi
Alangkah indahmu
Merah kuning hijau
Di langit yang biru
Pelukismu agung
Siapa gerangan?
Pelangi pelangi
Ciptaan Tuhan


Lirik lagu itu seharusnya begitu. Tapi berubah saat dinyanyikan penggemar Deira. Awalnya lagu itu dinyanyikan anak kelas dua, Akbar, saat Deira melintas di hadapannya. Maksudnya, untuk menggoda dan menarik hati Deira, anak kelas satu yang mirip boneka Barbie.

Deira Deira
Alangkah cantikmu
Merah kuning hijau
Kelopak matamu
Pelukismu agung
Siapa gerangan?
Deira Deira
Kucinta kamu

Lalu lagu itu pun menjadi lagu wajib bagi para penggemar Deira. Menggaung di mana-mana. Kelas satu, kelas dua, kelas tiga. Mungkin juga dalam hati guru-guru muda bujangan Harapan Bangsa. Akhir lagu itu juga seolah menjadi pernyataan perasaan para penggemar tanpa harus mengatakannya dengan malu-malu dan takut ditolak. Tapi Deira sangat pemilih. Tentu saja! Sebagai gadis tercantik sekelas satu, dia berhak memilih yang terbaik. Dan dia memang ingin yang terbaik. Sayang, yang terbaik sudah menjatuhkan pilihan pada gadis yang biasa-biasa saja.
"Huh! Apa bagusnya cewek itu, sih?"
"Kamu suka Adhit juga?"
"Siapa, sih yang enggak? Belum ada yang lebih ganteng dari dia, tau! Dia itu perpaduan Adjie Masaid sama Onky Alexander."
"Onky juga memilih cewek yang salah. Udah takdir kali, Ra, yang cantik dapetnya jelek. Yang ganteng dapetnya jelek juga. Kamu juga jangan-jangan begitu."
"Kalau gitu kenapa si Adhit nggak milih Hastuti aja. Dia, kan nggak ada duanya! Hahaha ..."
Tawa Deira dan Lia, teman sebangkunya, berderai. Mereka sedang duduk di belakang kelas 1-8 dan mengamati ke arah lapangan basket. Beberapa anak kelas satu dan dua sedang adu memasukkan bola terbanyak ke dalam ring.
"Itu siapa?" tunjuk Deira pada anak laki-laki yang sedang berkacak pinggang di tengah lapangan.
"Ervan?"
"Bukannn! Kalau Ervan aku tau yang mana. Itu, sebelahnya yang sekarang lagi garuk-garuk."
"Oh, Banyu? Anak paskibra kalau nggak salah."
"Oh, pantesan. Badannya bagus. Keren. Putih. Nggak kalah dari Adhit."
"Kamu suka, Ra? Sebaiknya nggak usah."
"Lho, kenapa?"
"Soalnya dia Kristen."
"Emang kenapa kalau Kristen?"
"Yaaa ..., bedalah ama kita. Masa nggak tau?"
Deira menggeleng.
"Aku, kan bukan mau nikah ama dia. Masa cuma suka-sukaan aja nggak boleh."
"Yaaa …, mana tau mau lanjut."
Deira tersenyum sambil mengamati Banyu. Setia pada satu lelaki bukan prinsip dirinya. Jika bisa menikmati banyak kenapa harus mencicipi satu?
"Bantu aku dapetin Banyu, ya, Li."

Jalan Deira meraih keinginannya kelewat mulus. Cowok mana yang bisa menolak pesona Deira? Setelah dia dan Banyu sering terlihat berduaan di kantin, satu sekolah menjadi geger. Banyak yang patah hati. Tidak sedikit yang menyayangkannya. Lagu wajib pun berubah.

Deira Deira
Alangkah cantikmu
Merah kuning hijau
Celana dalammu
Pelukismu agung
Siapa gerangan?
Deira Deira
Kupatah hati

Deira pun seperti menjilat ludah sendiri. Ternyata dia sangat terikat pada Banyu Arya Pratama. Bukan saja karena Banyu sangat baik dan perhatian, tapi Banyu bisa meredam darahnya yang selalu bergejolak. Dan dia ingin lebih. Lebih, lagi, lagi, lagi, dan terpuaskan! Tapi Banyu selalu berhasil menahan. Dua tahun hubungannya dengan Deira, hanya sebatas memegang, membelai dan mencium. Deira tidak puas. Dia mau yang lain. Dia ingin yang lebih.
"Aku mau lebih, Bee!" Rayu Deira manja.
"Dee, kamu, kan udah tau jawabannya. Kita simpan buat saat istimewa nanti, ya?"
Banyu membelai rambut Deira. Turun ke lengannya lalu berakhir di atas pahanya. Banyu memandangi tubuh Deira yang setengah telanjang di atas kasurnya. Cantik sekali. Seperti peri dalam buku-buku dongeng. Kulit Deira kekuningan. Rambutnya kemerahan. Belum lagi bibir Deira yang merah muda dan selalu basah. Hidung yang sangat mancung, alis mata tebal membingkai bola mata besar berbulu panjang dan lentik. Tahi lalat menghiasi dagu Deira yang menggantung. Seperti Elvi Sukaesih. Tubuhnya sintal, berisi. Tidak kurus seperti cewek-cewek kekurangan makan. Banyu merasa beruntung. Apalagi Deira rela menyerahkan semua itu padanya. Banyu menelan ludah. Dia masih laki-laki normal, tapi sekali menodai Deira, dia harus siap menjalani segala akibatnya.
"Kamu cinta aku, kan, Bee?" Deira membelai wajah Banyu. Dagunya. Lehernya. Dan mengusapkan lima jarinya pada dada Banyu yang bidang dan telanjang.
Rumah Banyu selalu kosong sebelum jam tujuh malam. Sepulang sekolah Banyu kerap membawa Deira ke rumah dan mencumbunya. Terlalu sering, hingga membuat Deira ketagihan.
"Kamu, kan tau kalau aku cinta banget ama kamu, Dee."
"Kalau gitu tunggu apalagi? Ayolah, Bee!" Deira menatap Banyu, memohon. Tangannya menggenggam tangan Banyu di atas kasur.
Banyu membalas tatapan Deira. Masih bimbang. Setan-setan membisikinya makin kuat.

***

Aku memasuki bar yang katanya terkenal di kota ini. Jika benar, seharusnya dipenuhi laki-laki segar yang bisa kuburu. Adrenalinku naik secara perlahan. Stilettoku bergerak teratur ke arah bartender. Sambil memandang berkeliling sekilas dan tersenyum menggoda kepada beberapa kandidat. Jika tepat sasaran, tidak lama lagi mereka akan merubungiku seperti semut menemukan permen.
"Margarita klasik," kataku pada bartender. Tak lupa aku tersenyum manis dan mengedip padanya yang ... yahhh, 7 dari 10.
Sambil menunggu minuman siap, aku memutar duduk dan mencoba menikmati live music di ruangan yang minim cahaya. Mataku mengamati pengunjung satu per satu. Dan, di sana, di sudut ruangan yang terhalang beberapa kepala, aku menemukan sepasang mata yang kukenal sedang menatapku. Darahku berdesir-desir. Ribuan semut menggigiti kulitku. Napasku cepat memburu.
Aku menginginkannya! (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEN IN THE LOCKERS

AWALNYA

(16) - SERANGAN AWAL