(12) - REUNI




Pendingin udara berkapasitas besar dipasang pada dua sisi di depan panggung. Meja prasmanan berisi aneka hidangan khas Cilacap, memanjang di kedua sisi aula. Sebuah meja dengan dua buah buku tamu di atasnya, diletakkan di pintu masuk aula bagian depan. Diperkirakan tamu tidak akan memenuhi ruangan berkapasitas 500 orang itu, sehingga pintu belakang aula ditutup. Panggung sudah lebih sedap dipandang. Sebuah taman kecil, tampak cantik dan sejuk di depannya.
Adhit, Febi dan beberapa orang panitia tampak sibuk mengatur segala persiapan. Mengecek perlengkapan dan menyalami tamu-tamu yang mulai berdatangan. Sesekali mereka saling berpelukan, berpandangan penuh kenangan, berusaha mengingat saat-saat kebersamaan. Ada rasa haru, sedih, bahagia, bangga, rindu yang bercampur aduk di ruangan itu.
Febi memandangi Ervan yang sedang bercakap-cakap dengan beberapa teman sekelasnya dulu. Dia selalu terpesona pada lelaki itu. Apalagi dia tampak begitu segar dengan kemeja polos dan celana katunnya. Bulu-bulu halus di wajahnya telah rapi tercukur dibanding dua hari lalu saat dia bertemu Ervan pertama kali. Saat Ervan menghubungi, minta dicarikan penginapan untuknya. Febi begitu bahagia dan ingin memeluk Ervan erat-erat. Tapi dia tahu Ervan tidak akan memperbolehkan dia melakukan itu. Ervan sangat menjaganya dan memperlakukan dia begitu spesial. Ervan tidak akan menyentuhnya lebih dari berpegangan tangan.
Deira datang bersama Banyu Arya. Perempuan cantik bertubuh sintal itu tampak bangga bisa menggandeng Banyu selama acara reuni. Beberapa teman mengira mereka telah menikah. Banyu hanya tersenyum misterius saat pertanyaan itu berulang kali ditanyakan.
"Kamu sama Deira? Kupikir kamu menikah dengan mojang Bandung!"
"Astaga! Kalian awet sekali! Sejak SMA selalu bersama."
"Kamu beruntung, Yu. Deira emang luar biasa!"
Banyu lagi-lagi hanya tersenyum. Dia mengakui, Deira memang luar biasa. Sejak dulu hingga sekarang. Beberapa hari kebersamaan mereka sejak bertemu di pub malam itu, Banyu rasanya lupa jika dia sudah beristri dan memiliki seorang anak. Entah bagaimana perasaan suami Deira, memiliki seekor kuda liar yang tak pernah terpuaskan. Banyu melirik Deira yang tertawa mempesona disampingnya. Tangannya meremas genggaman Deira. Rasanya dia ingin mengakhiri reuni penuh basa-basi ini dan menikmati Deira hanya untuk dirinya, sebelum masa cutinya berakhir. Lalu apa yang akan terjadi setelah liburan mereka berdua selesai? Banyu mendesah.
Keriuhan dan decak kagum terjadi ketika Hastuti memasuki ruangan. Hanya ada satu Hastuti Kusuma di sekolah mereka, dan itu jauh berbeda dengan Hastuti Kusuma yang saat ini dikelilingi teman-teman masa lalunya. Hastuti yang dulu, Hastuti yang selalu diabaikan. Diharapkan tidak ada. Uang logam 100 rupiah yang tergeletak di pinggir jalan. Tertutup debu tebal dan semak-semak. Benar-benar diabaikan. Hastuti yang sekarang jauh lebih menarik dan manis seperti gula. Membuat semut-semut berdatangan. Sekedar menjabat tangannya atau mengatakan betapa berubahnya dia dibanding dahulu.
Para pria memandangi Hastuti dari atas sampai bawah. Balik lagi ke atas dan berhenti di dada, berlama-lama. Bagaimana mungkin sesuatu yang begitu indah di sana bisa luput di masa lalu? Jawabannya cuma satu: Hastuti begitu buruk di masa itu. Hastuti tidak berusaha menyembunyikan keindahan paras dan kemolekan tubuhnya. Dia tidak secantik Deira, tapi sungguh menarik. Rambut keritingnya sudah di rebonding. Tergantikan oleh rambut lurus sebahu dan berponi ala Cleopatra. Memperlihatkan wajah manisnya yang dipoles makeup minimalis. Memberi kesan angkuh nan sensual.
Hastuti mengenakan rok span dan blus berdada rendah yang memperlihatkan belahan dadanya yang penuh. Bajunya sedikit ketat. Sengaja memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya yang tanpa cela. Jika perempuan lain cenderung mengembang setelah menikah, Hastuti sebaliknya. Pinggul dan dadanya kencang, perutnya rata, pinggangnya berlekuk, tulang bahunya menonjol. Tangan dan kakinya padat berisi. Bisa dipastikan, hampir sebagian yang hadir pada reuni berfantasi kencan semalam dengan Hastuti. Ke manapun dia melangkah, kakinya tertahan lebih lama. Semua sibuk menanyai Hastuti dan sibuk mencatat nomor teleponnya. Para wanita tak henti-hentinya menanyai dia apa rahasia penampilannya hingga bisa berubah demikian drastis. Hastuti mengulum senyum dan menjawab seperlunya.
"Rajin olahraga dan atur pola makan."
Hastuti boleh berpuas diri. Dia kini mendapatkan segala jenis perhatian yang dulu hilang. Tapi bukan itu tujuan dia datang ke acara reuni ini. Hastuti memperhatikan wajah-wajah yang hadir. Empat nama target pembalasan dendamnya sudah dia tentukan. Tinggal mendekati mereka satu per satu dan menghancurkannya. Hastuti bertekad membuat mereka menyesali, pernah menyiksa dan mempermalukannya di masa lalu.
Acay, dia datang seorang diri. Nama aslinya Aji, meski dia berdarah Jawa asli dan berkulit cokelat, matanya sipit sekali. Hanya meninggalkan garis lurus jika dia tersenyum. Bicaranya selalu bersemangat, ludahnya sering muncrat kemana-mana. Pergaulannya luas, dia sering dimintai tolong oleh teman-temannya dengan mengharap imbalan. Dia sering berkata, "Cincay, lah!" Dari situlah julukan Acay diberikan.
Nunu, datang bersama istrinya yang sungguh mungil dan manis sekali. Sepertinya rapuh. Semoga dia kuat menerima keadaan saat melihat suaminya hancur, pikir Hastuti.
Yanto masih tetap pendiam seperti dulu. Mulutnya tidak banyak bicara. Tapi tangan dan kakinya cepat sekali bertindak. Dalam geng Wijat, jika mereka harus berkelahi, Yantolah yang duluan maju. Tubuhnya kurus, tangan dan kakinya panjang-panjang. Tapi tubuhnya kuat sekali. Hastuti pernah ditampar sekali oleh Yanto, dan itu membuat telinga kirinya berdenging dan tak bisa mendengar apa-apa beberapa saat. Hastuti tidak pernah lupa rasa sakitnya hingga sekarang. Tapi pembalasan akan segera dilakukan dan mereka akan menyesal! Satu lagi. Wijat. Lelaki satu itu belum kelihatan. Hastuti sedikit panik. Dia takut Wijat tidak datang. Padahal dia sengaja meletakkan Wijat di urutan terakhir aksi balas dendamnya. Urutan terakhir biasanya lebih kejam, kan?

*****

(Shila POV)
Apa yang akan terjadi jika aku bertemu Adhit?
Aku berusaha mengatur napas pada setiap langkah menuju aula. Dadaku bukan main berisiknya. Entah apa yang sedang terjadi di dalam sana. Rasanya ribuan tambur dipukul begitu kencang. Bukan saja suaranya yang demikian bising. Getarannya pun membuat perut serasa dipelintir dari dalam. Mulas sekali. Aku memutuskan berhenti sebentar dan duduk pada bangku di depan kelas XII. Beberapa orang melintas, aku menundukkan kepala pura-pura memainkan ponsel. Hampir tidak bisa kukenali mereka-mereka yang berjalan melewati. Ah, apa pedulinya? Tapi ada satu sosok yang aku ingat. Gadis cantik itu, Deira. Dia masih sangat cantik diusianya sekarang. Tambah cantik malah. Dulu dia termasuk salah seorang yang pernah berusaha mendekati Adhit dan merayunya. Tapi ketika dilihatnya Adhit hanya geming, dia menyerah. Seingatku, Deira pacaran dengan anak Paskibra bertubuh bagus. Aku lupa namanya. Tampan juga, meski masih lebih tampan Adhit. Dan lelaki yang digandeng Deira tadi, mengingatkanku padanya. Apa mungkin orang yang sama? Febi pernah bilang, Deira menikah dengan duda tua kaya-raya. Jelas yang tadi bukan suaminya. Tapi mengapa mereka terlihat begitu intim? Ah, itu bukan urusanku. Urusanku saat ini, bagaimana aku harus bersikap jika bertemu Adhit?
Sebuah pesan whatsapp belum terbaca, mengusikku.
Bagaimana reuninya?
Cepat pulang ya. Abang kangen.
Aku mengetik beberapa kalimat. Memberitahukan bahwa baru saja sampai di tempat reuni dan belum bertemu siapa pun. Aku juga berjanji akan mengambil beberapa foto untuk membuktikan keberadaanku di sana. Kuatur ponsel dengan mode getar dan kumasukkan ke dalam tas. Mulai sekarang aku harus lebih fokus pada perasaanku dan tentu saja, napasku.
Tarik napas.
Buang napas.
Tarik. Buang. Tarik. Buang.
Baiklah! Aku siap!
Aula sudah ramai. Kegiatan di meja prasmanan juga sudah dimulai. Aku memang sengaja datang terlambat. Kulayangkan pandangan pada satu per satu undangan yang hadir. Dan alangkah terkejutnya, ketika kusadari bahwa aku seperti orang asing yang datang ke pesta yang salah. Wajah-wajah mereka hampir tak bisa kukenali. Apalagi nama dan kelas asalnya. Aku harus mencari Febi! Sungguh ketololan luar biasa datang ke tempat ini seorang diri. Dulu, aku terbiasa dengan segala keriuhan seperti ini dan mengenal mereka semua karena aku adalah Shila pacar Adhit. Sekarang, betul-betul kusadari aku bukan siapa-siapa tanpa Adhit. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Dadaku mulai terasa sesak.
"Shila? Apa kabar?"
Seseorang memeluk dan mencium kedua pipiku. Aku tersenyum berusaha mengingat siapa dia. Kutahan kelopak mataku agar tak berkedip.
"Ini aku Tutik. Dulu kita pernah bersama satu semester di Klub Botani. Terus aku keluar karena tidak tahan diacuhkan anak-anak lain. Cuma kamu yang selalu baik sama aku."
Perempuan yang menurutku mirip Asnah, driver dalam serial OK Jek, itu menggenggam kedua telapak tanganku yang berkeringat dingin.
Tutik? Hastuti? Apa yang sudah terjadi dengan pipinya yang tembam dan gumpalan lemak di tubuhnya?
"Kamu kelihatan berbeda sekali. Aku pangling!" Akhirnya mulutku mengeluarkan kata-kata setelah melongo beberapa saat. Hastuti tertawa senang.
"Aku turut sedih atas hubunganmu dengan Adhit. Sayang sekali, padahal kalian pasangan yang serasi. Sudah bertemu dengannya? Dia masih sangat tampan seperti dulu. Kabarnya dia sekarang duda. Sayang, dia tak pernah tertarik padaku." Hastuti menggeleng-geleng sedih sambil memandang satu sosok yang sedang tertawa lepas.
Aku kembali lupa caranya bernapas.
"Mukamu pucat sekali. Kamu sakit? Aku ambilkan minum, ya. Tunggu di sini!" Hastuti mendudukan aku pada sebuah kursi dan dia melenggokkan badannya berjalan ke arah meja prasmanan. Beberapa teman laki-laki mengikutinya dari belakang. Dia akan lama tertahan, pikirku.
Sambil menunggu minumanku--yang sepertinya akan lama datangnya--aku memandang berkeliling. Febi terlihat asyik mengobrol dengan Ervan. Kenapa harus Ervan? Aku menghela napas sedih. Apa perlu kuberi tahu seperti apa Ervan sebenarnya? Ah, nanti saja. Saat ini aku harus bersiap menghadapi masalahku sendiri yang bisa muncul tiba-tiba. Menghadapi pertemuanku dengan Adhit.
Karena bosan menunggu minumanku yang tak kunjung datang, aku memutuskan akan berjalan sendiri ke meja prasmanan, sambil mengambil beberapa foto untuk kenang-kenangan. Tak lupa kuarahkan kamera pada diriku sendiri. Cheese!
"Aku tak menyangka kamu akan datang."
Aku menurunkan kamera smartphoneku dan memandangi sosok bersuara lembut yang sedang berdiri di hadapanku.
Apa yang terjadi jika kamu bertemu Adhit? Jawabannya: aku lupa caranya bernapas.
"A-aku memutuskan datang," jawabku perlahan sambil tersenyum getir.
Jawaban apa itu? Seharusnya aku memberikan jawaban yang lebih baik. Seperti apa? Otakku tiba-tiba jadi idiot dan aku tidak bisa berpikir. Kepalaku mulai pusing.
"Kita harus bicara, Cila."
Cila. Cinta itu Shila. Sudah lama sekali panggilan itu tidak kudengar.
"Tunggu di sini sebentar. Kumohon. Sebentar saja. Aku segera kembali."
Adhit sedikit berlari menghampiri panggung saat namanya dipanggil. Mewakili alumni, dia menyerahkan sedikit kenang-kenangan untuk sekolah kami. Aku memperhatikan Adhit yang sebentar-sebentar melirik ke arahku. Aku juga tidak mau kehilangan dirimu barang sedetik pun, Dhit. Tapi jika terlalu lama bersamamu, apakah aku bisa menahan diri? Air mata mulai mengembun di sudut mataku.
Seharusnya aku tetap menghilang dan tidak pernah datang ke acara reuni ini! (*)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEN IN THE LOCKERS

AWALNYA

(16) - SERANGAN AWAL