(7) - PERTEMUAN DAN GAIRAH


Sebenarnya ia enggan datang ke kota ini jika bukan karena ayahnya sakit. Ia juga tidak peduli pada undangan reuni yang dikirim ke e-mailnya. Ayolahhh ..., semua juga tahu reuni itu seperti apa? Mau mengenang masa lalu di SMA? Terus mau apa? Balik lagi? Hhh! Banyu mendengus sinis. Baginya reuni hanya sekedar ajang pamer dan pembuktian diri. Hanya orang-orang yang menyebut dirinya berhasil atau punya kehidupan yang lebih baik yang punya nyali datang ke acara reuni. Selebihnya memilih menghindar dan melupakan bahwa mereka pernah SMA.
Banyu sendiri punya kehidupan yang sangat baik ketika SMA. Dengan postur tubuh yang tinggi dan atletis, ia terpilih menjadi anggota Paskibra hingga tingkat Provinsi. Hal itu tidak membuatnya kesulitan memacari perempuan mana pun di sekolahnya. Bahkan ia pernah jalan dengan dua perempuan sekaligus tanpa ketahuan. Banyu tersenyum sendiri membayangkannya.
"Kenapa senyum-senyum sendiri?"
Ibu menepuk pundak Banyu dan duduk di sampingnya. Meletakkan sepiring sukun goreng di hadapan Banyu. Mereka berdua duduk di teras depan dan menikmati sore yang cerah sambil mengamati lalu lalang kendaraan di jalan depan rumah.
"Eh, Buk? Hanya ingat masa SMA dulu, Buk. Bapak sudah tidur?"
"Sudah. Habis minum obat langsung tidur." Ibu mencomot sepotong sukun goreng dan menggigitnya pelan. Masih panas.
"Maaf, Yu. Karena kamu sampai harus izin dari klinik dan buru-buru ke sini."
"Ndak apa, Buk. Banyu juga, kan udah lama ndak pulang. Tapi ya, Banyu nggak bisa bawa Yanti ikut ke sini. Kasihan Rangga, Buk. Baru sembuh demamnya." Banyu mengambil sepotong sukun goreng dan mulai menikmatinya dengan lahap.
Ia teringat anaknya yang berusia 9 bulan. Tentu menyenangkan jika bisa membawanya pulang kampung, menengok kakek neneknya. Tapi anaknya itu baru saja sembuh dari demam karena imunisasi campak. Dan Yanti, istrinya, ibu muda dengan rasa khawatir berlebihan. Ia tidak mau kemana-mana sampai dirasa Rangga telah sembuh benar. Jadinya Banyu pulang sendirian dan meninggalkan anak istrinya di Bandung. Tapi ia tidak terlalu khawatir, mertuanya tinggal tidak jauh dari rumah mereka. Selama ia tidak ada, anak dan istrinya pasti aman.
"Ibuk beneran kaget waktu Bapak jatuh di kios itu. Sampai di bawa ke ICU segala. Tak pikir Bapak udah sakratul maut. Lha wong napasnya ngap-ngapan gitu. Alhamdulillah Bapak sehat lagi."
"Lagian, kenapa Bapak dan Ibuk masih sibuk di kios pasar, sih? Kan, udah ada Mas Agus yang ngurus. Bapak, tuh nggak boleh kecapean. Jantung koroner bukan penyakit enteng kayak masuk angin, Buk."
"Iya, Ibuk paham. Dokter udah jelasin semuanya. Tapi kamu tahu sendirilah Bapakmu itu. Orangnya ngeyelan. Susah dibilangin!"
Banyu mengangguk paham. Bapaknya memang sedikit keras kepala. Ia bisa membayangkan kejadiannya. Pasti Bapaknya merasa sehat dan sanggup mengerjakan pekerjaan berat sekalipun. Tanpa sadar ia terlalu memaksakan diri hingga akhirnya jantungnya kelelahan.
Beberapa hari yang lalu, Ibu meneleponnya dengan panik. Ibu bilang beberapa kali jantung Bapak lupa berdetak. Ibu takut terjadi apa-apa dengan Bapak dan ia menyuruh kelima anaknya segera pulang. Banyu yang paling jauh dari Cilacap butuh waktu paling lama untuk datang. Saudara-saudaranya yang lain bekerja dan tinggal di sekitaran Cilacap sehingga tidak membutuhkan waktu lama untuk berkumpul.
Saat ini Bapaknya sudah membaik. Sudah diizinkan pulang ke rumah dan rawat jalan. Saudara-saudaranya yang lain juga sudah kembali ke aktifitas masing-masing. Tinggal ia yang masih belum kembali ke Bandung. Ia masih bimbang, apakah akan datang ke acara reuni yang beberap hari lagi atau pulang ke istrinya yang baru dinikahi dua tahun yang lalu dan berkumpul dengan anak mereka  yang sedang lucu-lucunya?
Tidak ada keuntungan yang akan ia peroleh jika hadir di reuni itu. Tidak ada teman-teman yang begitu ingin ditemui. Juga tidak ada orang-orang spesial yang ia rindukan. Sebagai dokter spesialis kulit di salah satu klinik kecantikan terkenal di Bandung, kehidupan Banyu jauh dari lumayan. Banyu yang dulu, pasti dengan senang hati pamer kekayaan dan kedudukan. Tapi Banyu yang sekarang, Banyu suami Yanti, Banyu yang berbeda. Sejak ia mengenal Yanti dan masuk Islam, ia sudah bertekad akan menanggalkan segala keangkuhan dan kehidupan hura-huranya itu.
"Kapan kamu pulang ke Bandung?" Pertanyaan Ibu mengaburkan lamunannya.
"Setelah memastikan Bapak tidak apa-apa, Banyu akan pulang, Buk."
"Bapakmu sehat, kok. Ibuk pesankan travel, ya? Takut penuh. Banyak tanggal merah soalnya."
"Nggak usah, Buk. Biar Banyu pesan sendiri saja. Ibuk siapkan saja pesanan mantu Ibuk. Brekecek jahan!" Kata Banyu sambil merangkul perempuan sepuh di sampingnya. Yanti sudah mewanti-wanti agar Banyu tidak lupa membawakannya brekecek jahan buatan Ibu. Makanan khas Cilacap buatan mertuanya itu memang tidak ada duanya. Pedas-pedas gurih. Bikin ketagihan.

*****

Kakak iparnya bilang, pub ini paling populer di Cilacap. Banyu sendiri tidak menyangka, kota kecil seperti Cilacap punya pub seasyik ini. Live musicnya, venuenya, bahkan tamu-tamunya terbilang istimewa dan berkelas. Perempuan penghiburnya boleh dibilang nomor satu di Cilacap. Kecantikannya tidak kalah dengan perempuan penghibur di kota besar.
Beberapa perempuan sudah berusaha mendekati dan merayunya. Tapi Banyu belum menunjukkan ketertarikannya. Ia masih ragu-ragu. Pernikahannya dengan Yanti sangat bahagia. Tidak ada alasan baginya untuk mengkhianati atau mempermainkan perasaan Yanti. Setelah membujang cukup lama, Banyu akhirnya menikahi Yanti yang beda usia belasan tahun darinya. Banyu juga akhirnya meruntuhkan keyakinannya demi hidup bersama Yanti. Sesuatu yang dulunya ia pertahankan hingga rela menolak hubungan yang lebih serius dengan perempuan-perempuan yang pernah ia cintai. Salah satunya, pacar SMAnya yang berambut panjang, ikal kemerahan dengan dagu menggantung dan bibir selalu basah. Banyu tersenyum sendiri. Di mana dia sekarang? Apa mungkin dia datang di reuni nanti? Ada sedikit rasa rindu di hati Banyu membayangkan perempuan itu.
Senyum di wajah Banyu mendadak lenyap, ketika melihat seorang perempuan cantik berambut ikal panjang memasuki ruangan. Gaun merahnya yang ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya yang sempurna. Ia yakin, ia bukanlah satu-satunya pria di ruangan itu yang dimanjakan dengan pemandangan mempesona tersebut. Perempuan cantik itu berjalan menuju bartender sambil sesekali melempar senyum kepada beberapa pria muda. Ia duduk di bar, memesan sejenis koktail dan memutar tubuhnya untuk menikmati suasana pub. Banyu mengawasi gerak-geriknya yang menelisik setiap pengunjung pub. Banyu yakin, pandangan mereka akan segera bertemu. Banyu menduga-duga apa reaksi perempuan itu jika mereka beradu pandang. Dan bagaimana perasaannya?
‘Deg!’
Perempuan itu menatapnya. Sorot matanya dingin dan menusuk. Sesaat saja Banyu melihat kilatan cahaya di mata itu. Tapi hanya sesaat, lalu berganti menjadi dingin kembali. Rasa bersalah merayapi hati Banyu perlahan. Ia menduga-duga apa yang akan dilakukan perempuan itu selanjutnya. Apakah mendatanginya? Mencacinya? Atau mengacuhkannya? Karena memang tidak ada yang harus diingat tentangnya.
Perempuan itu memutar badan. Menyambut pesanan koktailnya dan mengatakan sesuatu kepada bartender. Banyu terpekur. Tidak terjadi apa-apa. Ia mendesah. Apa yang sebenarnya ia harapkan?
Seorang pelayan menghampirinya dengan gelas champagne dan hiasan cherry di bibir gelasnya. Meletakkan di meja dan memberikan secarik kertas yang dilipat dua. Banyu membukanya perlahan. Membaca dan mencerna isinya.

Hai Bee...
Mau menemaniku minum?

Yours,
Dee

Dada Banyu bergemuruh!

*****

Bagaimanakah caranya mengakhiri cinta agar tak terasa sakitnya? Jika cinta itu layak untuk dipertahankan, mengapa harus berakhir?
Banyu Arya bukan orang pertama yang mengajarinya tentang cinta. Dia jatuh cinta puluhan kali sebelum bertemu Banyu Arya. Dia juga mematahkan puluhan hati laki-laki sebelum Banyu Arya hadir. Tapi hati yang dia patahkan bukan hati miliknya. Tidak ada rasa sakit yang tertinggal, tidak ada rasa sesal yang mengendap. Dia bisa mengganti tiap hati yang menghilang dengan hati lain yang baru. Yang lebih kuat, lebih segar, lebih besar untuk menampung segala keegoisannya. Tapi dengan Banyu Arya, mendadak terasa berbeda. Hatinya patah hingga berupa serpihan. Dan tak bisa terobati meski dia berusaha menambal cinta yang hilang dengan cinta yang lain.
Banyu Arya mengajarinya kelembutan, sama seperti yang lain. Banyu Arya menghujaninya dengan perhatian, demikian juga yang lain. Banyu Arya melambungkannya hingga ke awan, seperti yang lain juga. Pemujaan berlebihan hanya untuk membuatnya setia. Membosankan! Tapi Banyu Arya mengajarinya satu hal, tidak sama seperti yang lain. Ketidakpedulian, bahwa dia bukanlah satu-satunya matahari di semesta.
Seorang Banyu Arya juga mengajarinya pemahaman, bahwa mencintai harus siap kehilangan.
"Jangan berikan hatimu 100% untuk cinta. Sisakan 10% nya untuk terluka. Agar kamu punya kesempatan bangkit lebih cepat."
Yah, mungkin seorang Deira bisa bangkit lebih cepat dari keterpurukannya kehilangan seorang Banyu Arya. Tapi seorang Banyu Arya menorehkan jejak terdalam yang membuat Deira harus menggali lebih dalam lagi untuk membenamkan dirinya.
"Bee, aku, a-aku tidak bisa jika tanpamu."
Derai air mata Deira membasahi punggung Banyu Arya. Tangannya melingkari tubuh kekar Banyu.
"Aku juga tidak, Dee. Tapi percayalah kamu akan baik-baik saja. Aku juga sama."
"Jangan pergi, Bee," ucap Deira lirih sambil mengetatkan pelukan.
"Aku tidak pergi, Dee. Jika Tuhan mengizinkan kita akan bersama lagi. Percayalah."
Banyu membalikkan badan sehingga tubuh mereka berhadapan. Wajah Deira basah oleh air mata. Bajunya tercecer sebagian di lantai. Tubuh Banyu Arya pun separuh telanjang. Ini hari kelulusan, mereka sepakat menyewa hotel murah untuk merayakannya. Bercinta sepuasnya, berpisah keesokannya.
Banyu akan melanjutkan sekolah di kota yang berbeda dengan Deira. Hubungan jarak jauh tidak akan berjalan mulus. Apalagi Deira, tidak sulit baginya mencari pengganti Banyu. Belum lagi masalah perbedaan keyakinan di antara keduanya. Membuat Banyu semakin yakin hubungan ini akan sulit dan menyakitkan jika dilanjutkan. Tapi mengakhirinya juga tidak mudah.

Deira menatap gelas koktail yang tinggal separuh. Rasanya baru kemarin dia dan Banyu merayakan kelulusan SMA di sebuah hotel di luar kota. Masih terasa napas Banyu yang memburu di atas tubuhnya. Pagutan-pagutan penuh napsunya dan pelukan erat saat tubuhnya menahan sensasi puncak. Mereka terengah kelelahan. Istirahat, kemudian mengobrol. Saling rayu, saling belai lalu menaiki puncak lagi bersamaan. Begitu berulang hingga berakhir dengan derai air mata.
Bukan cinta yang membuatnya tak bisa melupakan Banyu. Cinta baginya hanya permainan perasaan yang bisa dia atur kepura-puraannya. Tapi hanya Banyu, hanya Banyu yang bisa memberinya kepuasan berkali-kali. Hanya Banyu yang sanggup melakukannya tanpa terlihat lelah. Dan Banyu, dia punya berbagai cara berbeda untuk bersenang-senang. Deira merindukannya.
"Apa kabar, Dee?"
Suara bariton menyapanya. Percikan-percikan bunga api tersulut di dada Deira.
Dia mengulum senyum puas. (*)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEN IN THE LOCKERS

AWALNYA

(16) - SERANGAN AWAL