(8) - TIME TO REMEMBER (I)



(Adhit POV)

Puluhan tahun berlalu, lapangan basket Harapan Bangsa telah berubah menjadi aula serba guna. Murid-murid tidak lagi kepanasan jika ingin bermain basket, bulu tangkis, bola voli atau futsal. Selain berfungsi sebagai lapangan beberapa olahraga, ruang aula juga dapat digunakan untuk mengadakan perhelatan beberapa acara besar sekolah. Salah satunya adalah reuni 20 tahun angkatan kami.
Aku duduk di pinggir aula, mengamati beberapa murid yang sedang bermain basket. Hari ini aku punya janji dengan Febi, untuk berdiskusi lebih lanjut tentang izin menggunakan aula dan beberapa detail untuk acara nanti. Pikiranku melayang puluhan tahun ke belakang, saat seseorang begitu bersemangat memasukkan bola ke keranjang.

Tubuhnya melayang di udara. Tangan-tangan menggapai angkasa dan kaki yang terbang tak memijak. Keringat menetes di dahinya. Berkilauan. Dia terlihat bahagia. Bersemangat. Bersorak riang saat bola masuk ke dalam ring lawan. Sedikit menggerutu saat lawan memasuki keranjang yang dia pertahankan.
Desember hampir tiba di penghujung. Sekolah sebentar lagi memasuki musim liburan semester ganjil. Dan dia akan menghilang beberapa waktu dari sisiku. Meninggalkan gigil dalam rongga dadaku yang mengosong tetiba. Satu semester telah berlalu, dan kita saling menyakiti. Mengapa harus begitu, Shila?
Kau masih tetap sama. Bertahan pada sisimu yang sepi meski aku menawarkan riuh ribuan kali.
'Adhit... '
Aku terkesiap. Seseorang memanggil namaku dari kejauhan. Seseorang yang pernah gagal kulindungi. Seseorang yang memiliki mata seperti Shila. Senyum seperti Shila.
‘Bruk!!!’
Shila terjerembab di tengah lapangan. Pemain lawan menjegal kakinya tanpa sengaja. Darah segar mengucur dari lututnya. Permainan terhenti sesaat. Wasit dari siswa kelas dua bertanya apa Shila bisa melanjutkan permainan? Shila menggeleng. Kelihatannya dia begitu kesakitan. Elsa dan Lastri, memapah Shila ke tepi lapangan dan mendudukannya di bangku pemain cadangan. Katryn, seorang pemain cadangan, memasuki lapangan menggantikan Shila. Pertandingan bola basket antar kelas satu pun berlanjut kembali.
"Lututmu perlu diobati. Mau aku antar ke UKS?" tanyaku sambil mengulurkan tangan padanya. Dia menatapku tak percaya.
"Ayolah! Luka itu perlu dibersihkan. Nanti bisa infeksi. Kamu nggak mau kan nanti lukamu membusuk?"
Dia pun meruntuhkan pertahanannya dan menyambut uluran tanganku. Aku melingkarkan tangan kanannya di pundakku dan membantunya berjalan ke UKS. Aku sadar, berpasang mata menatap iri pada Shila. Apa peduliku?
"Duduk di sini. Biar aku cari anti septik untuk membersihkan lukamu."
"Apa nggak sebaiknya tunggu anak PMR aja, Dhit?"
"Mereka nggak tau ada di mana sekarang. Kalau cuma ngobatin luka aku juga bisa. Atau kamu nggak percaya sama aku?" Dia menggeleng, menggigit bibir dan menatap ngeri pada lukanya yang kemerahan.
Sebenarnya luka itu tidak terlalu parah. Tapi letaknya tepat di persendian gerak. Cukup membuat kaku dan ngilu jika berjalan atau menggerakkan lutut meski sedikit. Aku mencelupkan kain kasa ke larutan anti septik. Berjongkok di depan lukanya dan mulai membersihkan butiran pasir yang menempel.
"Aku tidak suka terluka. Aku tidak suka dengan rasa sakitnya," katanya. Segaris air mata menuruni pipinya yang mengernyit nyeri.
Aku cepat-cepat memberi anti septik pada lukanya dan membungkusnya dengan perban. Setelah selesai membereskan peralatan dan menyimpannya kembali pada lemari obat, aku duduk di sampingnya, di tepi ranjang UKS.
"Kamu tau, aku tidak akan menyakitimu atau membiarkan orang lain menyakitimu."
Dia menunduk, kedua tangannya menggenggam di atas paha. Aku meraih tangan kirinya dan menggenggamnya. Dia masih menyembunyikan wajahnya.
"Aku minta maaf, karena sengaja mengabaikanmu dan berpura-pura akrab dengan orang lain. Aku ..., hanya mencoba membuatmu cemburu."
Dia mengangkat wajahnya, memandangiku.
"Aku berhasil, kan?" tanyaku sambil tersenyum. Dia memukul bahuku dengan tangan kanannya dan berusaha melepas tangan kirinya dari genggamanku. Aku semakin mempereratnya. Dia kembali menunduk. Bahunya berguncang. Jendela UKS mulai mengembun. Awan mendung pun berarak.
"Apa harus menyakitimu terlebih dahulu untuk membuatmu sadar?" tanyaku sambil merengkuh bahunya dan membawanya dalam pelukan. Kepalanya bersandar di dadaku dan dia terguncang di sana.
Di luar, hujan turun deras sekali. Titik air mengetuk-ngetuk jendela UKS. Mengabarkan dingin yang terbawa dari langit. Tapi di sini, dada ini, terasa hangat dan basah. Hangat, karena seseorang telah membuka pintu untukku masuk. Basah karena seseorang itu menangis dan air matanya menembus seragamku hingga ke kulit dada.

*****


Shila memandangi Febi dari balik kaca mobil. Mamanya menelepon tiba-tiba minta dibawakan sate ayam. Febi mengantre giliran, sementara dia memilih menunggu di dalam mobil. Pandangannya beralih pada bintang-gemintang yang berkelip di angkasa. Membawanya terbang ke masa-masa indah yang berusaha dia lupakan.

"Kamu cari apa, sih, Shil? Dari tadi muter-muter Rita tapi nggak ada yang dibeli. Cepat tentukan mau beli apa, ntar keburu bazar kita bubar."
"Aku bingung, Feb. Aku lupa kalau Adhit hari ini ulang tahun. Kasih ide dong!"
"Lagian kamu ini cewek Adhit apa bukan, sih? Sampai nggak tau tanggal ulang tahunnya. Kalah sama ADL."
"Apaan ADL?"
"Adhit Lovers. Nggak tau juga? Cowok kamu kan selebritis sekolah!"
Shila termenung. Setahun lebih dia dan Adhit pacaran. Semua baik-baik saja. Tidak pernah ada perayaan ulang tahun masing-masing apalagi perayaan hari jadian. Wajar jika Shila tidak ingat kapan Adhit ultah. Adhit yang minta supaya mereka tidak mengistimewakan saat ulang tahun atau mengingat kapan mereka jadian. Bagi Adhit, setiap hari bersama Shila adalah istimewa. Dan dia ingin merayakan kebersamaan itu setiap hari. Tidak pernah ada kado atau ucapan saat salah seorang dari mereka berulang tahun. Adhit, selalu memberi kado kapan pun dia ingin memberi. Adhit, selalu mengajak Shila makan di tempat-tempat istimewa kapan pun dia mau. Jika bukan karena tumpukan mawar dan kado di meja Adhit siang ini, dia tidak akan pusing mencari kado untuk Adhit.
"Emang tahun kemarin nggak kayak gini, ya, Shil?" tanya Febi.
Saat ini mereka sedang berada di depan etalase perhiasan perak.
"Tahun kemaren nggak ada yang jualan bunga segar di bazar sekolah kayak sekarang, Feb. Mungkin ada juga, sih yang ngasih kado. Tapi aku, kan nggak tau. Eh, ini bagus nggak, Feb?" tunjuknya pada cincin perak berbentuk ular.
"Kamu gila, ya? Adhit anak OSIS bukan anak band metal! Mending kasih kaos Hammer aja yang di atas tadi. Keren tauk! Ide jualan bunga segar di bazar, kan idemu, Shil."
"Ogah, ah. Kata orang kalau kasih baju suka putus. Iya ideku. Kan romantis! Apalagi bisa kita antar langsung ke tujuan. Tapi, kan maksudnya biar kelas kita dapat duit. Bukan malah senjata makan tuan!"
"Percaya amat apa kata orang. Kalau nggak jodoh mau dikasih borgol sekalipun, ya tetep aja bakal putus, Shil. Harusnya kamu mikir dobel, Shil sebelum bikin gebrakan. Biarpun Adhit pacar kamu, para ADL slalu punya cara buat bikin kalian putus."
"Ihh bawel, deh kamu. Aku nggak mau kasih baju pokoknya! Buat jaga-jaga. Dan aku percaya ama Adhit. Dia anaknya setia tauk. Udah ah, ada ide lain, nggak mau kasih apa?"
"Ya udah parfum aja."
"Ntar dikiranya dia bau karena aku ngasih parfum. Lainnya?"
"Dompet?"
"Masih bagus."
"Ikat pinggang?"
"Udah banyak."
"Topi?"
"Nggak suka pake."
"Jam tangan?"
"Kemahalan."
"Aduhhh ..., jadi apa dong? Semua salah. Pikir aja sendiri!"
"Aahhh ..., ini cocok. Ini aja!" Shila menunjuk pada sebuah liontin perak berbentuk bulat telur dengan hiasan sulur-sulur di seluruh permukaannya. Shila meminta pelayan counter untuk segera membungkus dalam kotak kecil lalu membayar liontin tersebut.
"Adhit, kan bukan anak band metal, Shil ..., masa ..."
"Aku punya rencana." Shila mengedipkan matanya dan tersenyum misterius ke arah Febi. Mereka berjalan keluar Rita menuju parkiran motor.
"Ayo kita kembali ke sekolah. Adhit pasti udah kehilangan kita berdua. Nanti dia curiga."
"Hhh ..., kehilangan kamu kali, Shil bukan kita. Dan kurasa saat ini Adhit sedang keliling sekolah nyariin kamu. Dia pasti panik pas tau kamu nggak ada di stand bazar kelas kita trus liat tumpukan mawar di meja dia. Pasti dia mikir kamu patah hati. Hahaha!"
Shila menatap awan cerah dan matahari yang menguning sempurna. Sangat terik dan kering.
"Nggak ada hujan, Feb. Adhit tau aku baik-baik saja."
Febi mengernyitkan dahi sambil menyalakan motornya. Hujan? Apa hubungannya?

Tapi Febi benar. Sahabatnya sejak naik kelas 2 A1-1 itu tersenyum menang saat melihat Adhit sedang berjalan kesana kemari kebingungan. Dan ketika melihat Shila berjalan ke arahnya, wajah Adhit berubah menjadi lega. Dia tersenyum cerah.
"Kamu menghilang dan ada banyak tumpukan mawar dengan berbagai nama di atas meja. Kupikir kamu sedang menangis di suatu tempat. Tapi langit cerah jadi seharusnya kamu baik-baik saja."
"Tidak ada hujan?"
Adhit mengangguk dan tersenyum, "Tidak ada hujan. Kamu kemana aja sih? Dah hampir jam 1. Dah makan siang?" Shila menepuk dahinya dan menggeleng.
"Mau ke kantin atau mi ayam depan sekolah?"
"Mi ayam aja, deh."
"Halooo Romeo and Juliet! Masih ada Febi di sini dan aku lapar juga. Kalian tidak berniat menelantarkan fakir yang satu ini, kan?"
Mereka bertiga tertawa. Adhit mengulurkan tangan pada Shila dan menggenggamnya erat. Seolah Shila akan terlepas jika genggaman itu lepas.
"Ayo, Feb! Kamu juga boleh ikut."
"Boleh nambah? Aku laper banget gara-gara nemenin cewek kamu yang rewel ini, Dhit."
Adhit mengernyitkan dahinya, sementara Shila membelalakan matanya pada Febi.
"Kamu boleh makan sepuasnya, Feb. Dan kalian berdua juga harus bercerita kemana saja beberapa jam ini."
Shila mendesah. Niatnya memberi kejutan pada Adhit gagal. Adhit pasti akan tau jika dia berbohong.
Mereka bertiga berjalan keluar gerbang menuju warung mi ayam Pak Jono. Seperti biasa, berpasang mata menatap iri Adhit dan Shila. Hanya sepasang mata yang terbakar amarah cemburu yang parah dan sepasang mata menatap sedih. Penuh pengharapan.

*****

Apakah Adhit masih ingat saat-saat itu? Ketika dia dan hujan bersahabat? Saat dia menangis, hujan menemaninya. Menyembunyikan kesedihannya. Rasa sakit hatinya.
Apakah Adhit juga ingat, saat pertama dia tahu perihal hujan. Hujan yang dia bawa ke bumi dengan air matanya.

“Kamu menakjubkan, Cila! Bagaimana bisa?”
“Entahlah. Terjadi begitu saja. Sejak umurku sembilan tahun. Apakah kamu menganggap aku aneh?”
“Cila ..., di dunia ini banyak anak indigo dengan kemampuan khusus seperti dirimu. Aku pernah membaca, kemampuanmu ini masih tergolong telekinetik. Bisa menggerakkan benda sesuai pikiranmu. Pasti kemampuanmu besar sekali, karena yang kamu gerakkan itu awan hujan. Kita akan mencari tahu sebesar apa kemampuanmu ini. Kita bisa mulai membaca buku-buku di perpus.”
“Nggak perlu, Dhit. Aku nggak mau ambil pusing dengan masalah ini. Anggap ini hal yang biasa. Setidaknya dengan cara ini aku tidak perlu memberitahumu dengan kata-kata kalau aku terluka karena suatu hal.”
“Aku tidak akan menyakitimu, Cila. Aku janji!”
Adhit menciumnya di dalam mobil. Ciuman pertamanya. Shila meneteskan air mata bahagia. Saat itu mereka baru pulang dari perpisahan kelas satu sekaligus perpisahan Atik yang akan pindah sekolah ke Jakarta. Mengikuti papanya yang pindah tugas. Tetesan hujan jatuh perlahan di kaca mobil.
“Kamu menangis?”
“A-ku ..., a-ku ..., nggak nyangka, Dhit?”
“Nggak nyangka apa?”
“Ka-mu ..., a-ku ..., jadian.”
“Kamu masih ragu?”
“Selalu. Selalu, Dhit. Kamu sempurna. Dan aku ...”
“Kamu menakjubkan, Cila! Kamu sempurna bagiku. Dengar! Aku akan selalu berada di dekatmu. Tidak peduli kamu meminta atau tidak.
Dan aku akan selalu ada di dekatmu hingga kamu menyuruhku pergi.”
“Hingga kamu menyuruhku pergi,” bisik Shila.
Wajah Adhit kembali mendekat. Bibir menyentuh bibir. Hujan menderas kembali, bersamaan lelehan haru di pipi Shila.
“Kamu ..., kamu ..., benar-benar menakjubkan, Cila!”
Adhit terkekeh dan menghapus butiran kristal di pipi Shila. Tetesan yang mengetuki kaca mobil pergi dengan malu-malu. Memanggil bintang-gemintang yang tetiba disulap memenuhi angkasa. Malam beruap, berganti menjadi hangat. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEN IN THE LOCKERS

AWALNYA

(16) - SERANGAN AWAL