(4) - ITIK BURUK RUPA
Sebutir
telur yang dierami induk itik selama 28 hari, menetas. Kepala putih dan kecil
terlihat menyembul dari pecahan telur. Induk itik menelengkan kepalanya. Anak
terakhirnya terlihat berbeda. Putih dan berbadan lebih besar. Dibandingkan
ketiga anaknya yang cantik berwarna kuning keemasan, itik terakhir terlihat
buruk. Induk itik mematuk kepala itik buruk rupa dengan paruhnya. Dia merasa
tidak suka pada anak keempatnya. Apalagi setelah itik jantan meninggalkan dia
gara-gara anak aneh itu, dia makin benci pada anak keempat.
Semakin
lama, perbedaan itu semakin kentara. Itik buruk rupa terlihat bodoh dengan
tubuh besarnya itu. Suaranya pun terdengar serak dan menyakitkan kuping.
Membuat induk itik harus menutup telinga tiap kali idiot bertubuh besar itu
berbunyi. Anak-anaknya yang lain pun terlihat ketakutan tiap kali mendengar
suara itik buruk rupa. Induk itik makin membenci anak keempatnya. Bagaimana
mungkin dia bisa memiliki anak yang begitu besar, jelek, dan tidak lincah
berenang di air?
Suatu
hari, induk itik mengajak anak-anaknya berenang di sungai. Dia memimpin di
depan. Ketiga anak kuningnya mengikuti dengan lincah di belakang. Satu anaknya
yang putih dan besar tertinggal sangat jauh. Kepayahan, dia berusaha mengejar
induk dan saudara-saudaranya. Namun tubuh besarnya tak mampu berenang secepat
mereka. Itik buruk rupa kehilangan induk dan ketiga saudaranya.
Itik
buruk rupa menangisi nasibnya yang malang. Dia tidak tahu mengapa ibu
membencinya, mengapa saudara-saudaranya sering mengejeknya? Mengapa dia
terlihat berbeda dibanding mereka? Berhari-hari dia menyusuri sungai mencari
keluarganya. Hujan, kehujanan. Panas, kepanasan. Hingga suatu hari, saat tubuh
lemahnya tersangkut di sebatang pohon, dua itik yang sama buruk dengannya datang
menolong. Mereka membawa dirinya pada seekor induk dengan leher panjang dan
indah. Yang memiliki bulu sehalus sutra dan berenang anggun di kolam penuh
teratai.
Dia,
yang merasa buruk, ternyata adalah seekor anak angsa yang akan berubah menjadi
angsa dewasa yang cantik dan anggun. Ternyata dia tidak buruk seperti
perkiraannya. Dia hanya berada di lingkungan yang salah.
Hastuti
memandangi dirinya di cermin. Mengamati pantulan wajah dan tubuhnya.
Pertunjukan balet itik buruk rupa di Aula Simfonia Jakarta tadi, sungguh
menohok dan mengiris ingatannya tentang masa lalu. Hastuti teringat akan sebuah
e-mail yang dia terima. Undangan 20
tahun reuni angkatannya di SMA Harapan Bangsa.
Dia
mengepalkan tangan dan memukul wastafel hingga buku-buku jarinya kemerahan.
Ingatan masa lalu itu sungguh kejam. Hastuti membencinya. Jika bisa, dia tak
ingin kembali meskipun kedua orang tuanya kini tinggal di sana. Dia memang
tidak akan kembali ke sana. Tidak! Undangan itu tidak akan membuatnya terusik.
Dia sangat bahagia dengan kehidupannya saat ini. Bekerja sebagai Manager
Business Development di sebuah event
organizer, membuatnya memiliki kehidupan sosial yang tidak kalah dengan
selebritis. Pesta-pesta dan pulang pagi akrab dengannya. Dia tak perlu khawatir
suami akan melarang. Sebagai pekerja asing, suaminya itu sering bepergian ke
luar negeri.
Hastuti
mengamati lagi pantulan wajahnya di cermin. Kali ini lebih dekat, lebih lekat. Muka
oval dengan tulang pipi menonjol, hidungnya mungil tapi pas dengan wajahnya.
Alisnya sempurna, karena dia rajin ke salon untuk merapikan. Bibirnya selalu
merona karena sulam bibir yang dia lakukan sebulan lalu. Rambutnya berkilat,
wangi, dan jatuh tergerai dengan ikal di ujungnya. Warna dan modelnya sering
berubah beberapa bulan sekali atau kapan saja dia merasa bosan. Dan tubuhnya?
Hastuti mundur beberapa langkah ke belakang, hingga tubuhnya yang tanpa busana
terpantul sempurna di cermin kamar mandinya. Dia menghela napas puas. Dada
membusung, perut rata, pinggul berlekuk. Tak ada yang cacat dari penampilannya.
Lalu,
kenapa dia ingin menghindar hadir di reuni itu? Hastuti yang sekarang berbeda
dengan Hastuti yang dulu. Hastuti yang sekarang, bisa membuat lelaki mana pun
yang melihat, meneteskam liur. Dia tidak seharusnya merasa dihantui trauma
bodoh itu. Dia bukan lagi seekor itik buruk rupa. Dia sekarang, seekor angsa
yang menawan. Sebuah ide cemerlang berkelebat di kepalanya. Hastuti memandangi
wajah cantik di cermin yang kini menyeringai jahat dan menatap dingin.
Wajah
itu memberitahunya tentang sebuah rencana.
Pembalasan
dendam!
***
(22 tahun yang lalu)
"Hei,
Gendut ngapain lewat sini? Jauh-jauh sana!"
"Udah
gendut, item, jelek, hidup lagi! Bikin rusak pemandangan aja!"
"Kamu
duduk paling belakang!"
"Jangan
keluar sebelum kami keluar!"
"Kenapa
Si Jelek ini ada di kelas kita?"
"Kamu
seharusnya mati! Orang jelek nggak diterima di manapun!" Wijat menendang
meja Hastuti.
Tubuhnya
yang gempal tertunduk membulat. Wajahnya tersembunyi dalam rambut keritingnya
yang mengembang dan lebat. Titik-titik air mata mulai berjatuhan.
Dia
sudah terbiasa menerima cacian seperti ini sejak SMP. Sejak ibu pindah ke
Jakarta tanpa membawa dirinya. Sejak ayah meninggalkan rumah dan membiarkannya
hidup berdua dengan nenek. Sejak itu napsu makannya tak terkendali. Dia
menemukan cara untuk menghapus kesedihan. Makan sampai perutnya penuh, muntah,
makan lagi, tidur, bangun, makan, makan, makan terus. Hingga akhirnya tubuh
kurusnya mengembang seperti balon dan muka manisnya tertutup lemak. Yang lebih
parah, dia lupa caranya tersenyum. Membuat dirinya terlihat lebih menyeramkan.
Lalu
olok-olok itu mulai terdengar. Awalnya satu orang. Lalu menjadi dua. Seperti
hama kutu putih pada tanaman krokot, dia menyebar begitu cepat. Hingga tanpa
sadar semua telah tertular hama yang sama. Hastuti hanya bisa menerima. Pasrah.
Dia
tidak punya teman. Bukan tidak ada yang mau berteman dengannya. Tapi mereka
takut, takut dianggap tidak keren karena berteman dengan orang aneh seperti
dia. Mereka juga takut, Wijat dan gengnya akan mengolok-olok, seperti Wijat
mengolok-oloknya. Jadilah dia duduk seorang diri di bangku paling belakang.
Seperti uang recehan 100 rupiah. Tak bernilai jika sendirian. Diabaikan.
Teman
sejatinya adalah buku-buku, televisi, dan kepingan-kepingan vcd bajakan.
Jam-jam kosongnya dia habiskan dengan membaca, menonton sambil makan kripik dan
kue-kue. Tidak ada yang melarang, apalagi mengajarinya cara merawat tubuh.
Simbahnya sibuk mengurusi warung nasi di depan rumah dan membebaskan Hastuti
makan apa pun, sebanyak apa pun, di warungnya. Bagi Simbah, yang penting
Hastuti tidak kurang makan dan tercukupi kebutuhan sekolahnya. Begitu cara Simbah
membesarkan dan menyayangi Hastuti.
Saat
menstruasi pertama, Simbah cuma menyodorkan pembalut. Tidak memberi tahu,
mengapa darah keluar dari selangkangannya? Mengapa perutnya terasa melilit
seperti ditusuk-tusuk? Mengapa kepalanya menjadi pusing? Dan bagaimana menggunakan
pembalut dengan benar? Karena benda itu menempel di bulu halus kemaluannya
sehingga darah merembes di celana dan rok sekolah. Hastuti ramai diolok teman
satu kelas dan pulang sambil menangis.
"Owalah, kiye kewalik ngganggone. Kudune kaya
kiye,"[1] Mbak Wakingah, salah seorang pegawai Simbah,
memperlihatkan cara menempel pembalut yang benar.
"Wis nganah dikumbah disit kathoke nganti
resik. Trus ganti ngganggo sing anyar. Aja nangis maning."[2]
Mbak Wakingah mengelus kepala Hastuti. Adem.
Hastuti
menangis di kamar mandi. Usianya 12 tahun saat darah itu mengalir di paha
hingga betis pada saat mandi pagi. Simbah marah-marah karena Hastuti berteriak
panik, membuat tangannya yang sedang mengupas labu siam, teriris. Di mana
ibunya? Seharusnya dia yang bersamanya saat semua ini terjadi, bukan Simbah.
Bukan Mbak Wakingah. Hastuti mengutuki perempuan yang memilih tinggal dengan
suami dan keluarga barunya tanpa membawa dirinya.
Dia
pikir, bersekolah di Harapan Bangsa akan mengubah hidupnya. Teman-teman baru
yang tidak akan mengejeknya, sekolah swasta dengan pergaulan moderen, dan
lingkungan baru yang akan membuatnya lupa masa lalu. Ternyata dia salah. Uang
100 rupiah tetaplah 100 rupiah. Dia lebih diabaikan, lebih dijelekkan. Mereka
di HB tidak sekedar pintar. Tapi juga kaya, cantik, ganteng, dan menarik. Tidak
ada yang seperti dirinya saat berbaris di barisan kelas satu. Ada beberapa anak
laki-laki bermata sipit yang sama gemuk dengannya. Tapi dia tidak hitam, tidak
keriting, dan tidak berkawat gigi. Dia kaya. Uang bisa membeli segalanya, bukan?
Bahkan persahabatan dan kebahagiaan.
"Mbah,
mata Tutik sakit. Perih, Mbah.”
"Ya, wis. Ngesuk diterna Darmo periksa maring
dokter.”[3]
Dokter
tidak memberinya obat karena ternyata matanya tidak sakit. Dokter hanya
memberinya saran agar Hastuti cek ke dokter mata atau optik. Hasilnya, lensa
minus 3 berbingkai hitam besar bertengger di depan matanya. Sempurnalah
penampilan buruk Hastuti pada saat naik kelas dua SMA. Tumbuh gembrot, rambut
keriting mengembang, kacamata tebal dan kawat gigi permanen yang baru bisa
dilepas saat dia lulus SMA. Membuat dia awet menjadi bulan-bulanan Wijat dan
kelompoknya.
***
Dia
datang dengan dendam. Pada masa lalu yang ingin dia hapus. Pada ayah yang
menceraikan ibunya. Pada ibu yang mengkhianati ayahnya. Pada mereka berdua yang
membuat dia tumbuh besar dan jelek. Dia juga datang dengan kebencian meluap.
Pada mereka yang telah membuatnya malu di hadapan 300 anak. Pada biang-biang
onar yang tidak tahu sakitnya hati perempuan. Dan dia ingin perempuan-perempuan
yang mereka kasihi hancur sehancur-hancurnya. Menjadi berkeping dan terburai.
Empat nama telah dia kantongi dan dia akan mendatangi mereka satu per satu.
Memberinya kesenangan-kesenangan yang tak akan terlupakan. Kesenangan yang akan
menghapus coretan-coretan merah dan buruk dalam buku hidupnya. Kesenangan yang
akan mengembalikan senyuman-senyumannya. Tapi, sebelum dia mulai menyambangi
nama-nama itu, dia akan melakukan pemanasan sedikit. Melakukan sesuatu yang
seharusnya dia lakukan sejak dulu.
Hastuti
menaikkan kakinya ke atas meja. Menarik gaun merah tanpa tali hingga paha
mulusnya terlihat liar untuk di belai. Segelas bourbon di tangan kanan dia goyang-goyangkan. Matanya menatap lurus
pada layar LED yang memutar film laga Jason Statham. Dari belakang, dia
mendengar suara pintu membuka dan menutup. Lirih. Senyum tipis tersungging dari
bibir Hastuti. Seseorang terbatuk di belakangnya. Sengaja.
"Eh,
Bapak? Belum tidur, Pak?" Hastuti menurunkan kaki dan meletakkan gelas di
meja. Menoleh ke arah Bapak yang berdiri di belakangnya.
"Nonton
apa? Keliatannya rame?" Bapak menatap sekilas televisi tapi pandangannya
lebih tertarik pada belahan dada Hastuti yang bulat.
"Fileme
Jason Statham. Rame, Pak. Tembak-tembakan. Sini, nonton sama Tutik."
Hastuti menepuk kursi di kirinya, Bapak sedikit ragu. Hastuti duduk bersila,
celana dalamnya terlihat sedikit. Bapak menelan ludah. Lalu duduk di samping
Tutik.
"Ibuk
sudah tidur." Bapak memberi tahu. Hastuti tidak bertanya. Hanya tersenyum
dalam hati.
Ternyata,
memikat bapak tirinya tidak sesulit yang dia pikir.
Entah siapa menggoda siapa pada saat perselingkuhan itu terjadi. Yang jelas, Bapak kandungnya marah besar karena pengkhianatan Ibu dan memilih meninggalkan kami berdua. Tapi malam ini, saat ini, mungkin Hastuti tahu jawabannya. Lelaki yang pernah tergoda hubungan sesat satu kali, akan mencoba meraih kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya. Karena dia tahu sensasi-sensasi kenikmatannya. Dan Hastuti, darah yang mengalir di tubuhnya sama dengan darah yang mengalir di tubuh ibunya.
Entah siapa menggoda siapa pada saat perselingkuhan itu terjadi. Yang jelas, Bapak kandungnya marah besar karena pengkhianatan Ibu dan memilih meninggalkan kami berdua. Tapi malam ini, saat ini, mungkin Hastuti tahu jawabannya. Lelaki yang pernah tergoda hubungan sesat satu kali, akan mencoba meraih kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya. Karena dia tahu sensasi-sensasi kenikmatannya. Dan Hastuti, darah yang mengalir di tubuhnya sama dengan darah yang mengalir di tubuh ibunya.
Sama-sama
perempuan penggoda! (*)
Catatan
Kaki:
[1]
“Owalah, ini terbalik pakainya. Seharusnya begini.”
[2]
“Udah sana dicuci dulu celananya sampai bersih. Trus ganti sama yang baru.
Jangan nangis lagi
[3]
“Ya sudah. Besok diantar Darmo perksa ke dokter.”
Komentar
Posting Komentar