(6) - PEREMPUAN MASA LALU




(3 bulan sebelum reuni)

Tubuhnya masih tegang di pinggir ranjang. Dia duduk sambil menggenggam pinggiran kasur hingga kuku-kukunya perih. Mungkin ada beberapa yang patah. Pandangannya tertunduk. Menatap ujung kakinya yang menggantung gemetaran. Isak perlahan masih terdengar di sudut kamar. Putus-putus. Kadang samar, lalu hilang. Lalu terdengar lagi pelan. Seolah-olah takut dirinya mendengar lalu menyakiti lagi. Tapi ini pukul dua dini hari, bahkan napas kita sendiri pun terdengar sangat keras.
Ervan masih mematung di pinggir ranjang. Rasa sesal mulai merayapi hatinya. Seperti sulur-sulur labu yang menjalar terlalu cepat dan mengikat. Ervan makin menancapkan kuku-kukunya ke kasur.
Seharusnya ini tidak terjadi! Dia tidak suka menyakiti perempuan. Apalagi dia adalah ibu dari anak-anaknya. Tapi perempuan itu sering mengeluarkan kata-kata yang membuat ego laki-lakinya tersulut. Dan malam ini puncak kekesalannya yang menumpuk, tumpah ruah. Ervan kehilangan kendali akan emosinya. Dia menghajar pipi, bahu, paha, perut, punggung dan seluruh tubuh perempuan itu dengan kaki dan tangannya. Ervan menggigil membayangkan setan yang keluar dari dirinya barusan.
Dengan langkah goyah, didekatinya istrinya yang meringkuk makin menyudut. Jika bisa, istrinya itu pasti ingin melesak ke dinding kamar mereka dan tertanam di sana hingga luka-lukanya sembuh. Hingga amukan Ervan hilang dan mereda.
"Ja-jangan, Pah. Am-ampun. Ma-ma min-ta am-pun." Suara istrinya terbata di sela isakan. Kedua telapak tangannya terangkat menutupi wajah. Tanda perlawanan yang telah berakhir.
Istrinya pasti menyadari sekarang. Sikap sabar yang selama ini dia perlihatkan, ada batasannya. Tidak selamanya dia bisa mengalah dan diam saja menerima. Semakin hari, mulut istrinya itu semakin tak terkendali.
"Laki-laki lemah!"
"Laki-laki pengecut! Masa protes sama atasan saja nggak bisa!"
"Apa gunanya jabatanmu, Pah? Kok, bisa kamu dikadalin bawahan? Dasar bodoh! Bego! Tolol!"
"Hah! Pantas saja kamu tak laku-laku! Sampai harus dicarikan istri segala! Kalau tau seperti ini yang bakal kudapat, aku nggak mau dijodohkan!"
"Kau ini laki-laki apa bukan, sih, Pah? Pake daster aja besok kalau kerja!"
‘Plakk!!!’
Tamparan keras mengakhiri semua kata-kata menyakitkan dari mulut bergincu tebal itu. Dan rasanya menyenangkan. Saat seluruh emosi terpusat pada satu titik di telapak tangan, dan terhempas mengenai bidang yang pas, rasanya seperti mengalirkan udara pada ruangan yang pengap. Ervan menyukai sensasinya. Dimulailah kesenangan-kesenangan berikutnya, pada bagian tubuh yang lain.
"Su-su, su-dah, Pa. Su-dah cu-kup. A-aku tak ta-han la-gi."
Istrinya makin meringkuk ke sudut. Ervan kini berhenti tepat di hadapannya.
Tangan kiri Ervan meraih rambut istrinya yang terurai. Menariknya keras, hingga wajahnya menghadap ke atas. Tangan satunya lagi menurunkan risleting celana panjangnya. Istrinya harus belajar menggunakan mulutnya untuk hal-hal yang lebih berguna. Dan dia akan mengajarkannya dari sekarang!

***

Apakah memperkosa istri itu tindak kejahatan? Ervan memandangi langit-langit kamarnya. Dia tidak merasa memperkosa. Dia hanya memberi pelajaran pada mulut-mulut istrinya. Kejadian dini hari tadi telah membangkitkan sisi Ervan yang lain. Hewan buas yang telah lama tidur, kini bangkit kembali. Membayangkan teriakan-teriakan istrinya dan pekik kesakitannya, membuat Ervan bergairah kembali.
Diliriknya jam dinding di kamar. Setengah jam menjelang subuh, masih ada waktu sebelum mereka bersiap ke kantor. Ervan membalikkan tubuh istrinya yang terbaring lelah di sisinya. Dibekapnya mulut istrinya, dan dia mulai melancarkan aksinya cepat-cepat.
"Kamu bukan istriku! Kamu bukan istriku! Kamu ... kamu ..."
“Arrgghhh!!!”

***

(23 tahun yang lalu)

Aku melihatnya pertama kali, saat hujan datang tak di undang. Turun lebat tak terkira, membanjiri selokan juga lapangan basket. Menggenang di beberapa lantainya yang coak. Menguyupkan jaring-jaring di keranjang dan membuatnya lunglai, tak lagi menarik untuk dimasuki bola.
Dia, duduk menyandar pada dinding yang sedikit lembap. Kepalanya menunduk, kedua tangan memeluk badan yang bergerak naik turun. Dia sedang menangis. Rambutnya masai menutupi seluruh wajahnya. Hujan ini bagai tirai, membatasi pandangku untuk menjelajahnya. Tubuhnya tampak rapuh dan kesepian. Seolah menyembunyikan derita yang kasat mata. Entah mengapa, aku sungguh ingin memeluknya. Merengkuh tubuh rapuhnya dan memberi sedikit kehangatan agar menjadi kuat. Entah mengapa, hatiku menjadi pilu hanya dengan melihatnya. Entah mengapa aku merasa mencintai sosok yang tersembunyi di balik hujan itu. Tanpa tahu rupanya. Namanya. Pun wujudnya yang entah nyata atau tidak.
Tiba-tiba dia mengangkat wajah. Memandangi hujan yang tiba-tiba menyurut. Apakah dia menyuruhnya berhenti? Air mata masih membekas di sudut matanya, berkilauan tertimpa sinar matahari yang sedari tadi menunggu giliran menyapa bumi. Ah, gadis, mengapa terlihat lebih cantik jika sedang rapuh? Lalu tahun pun berganti-ganti. Dia masihlah gadis yang memikat. Dan aku masihlah pemuda yang memandang dari kejauhan. Tersembunyi di balik pilar.

***

"Kamu lagi chat sama siapa, sih, Feb? Dari tadi serius amat?"
Shila baru saja selesai menghabiskan sepiring mi goreng. Menyeruput es teh manisnya lalu menepuk-nepuk perutnya.
"Kenyanggg ..."
Febi menggeleng-gelengkan kepala. Sahabatnya itu tak berubah. Sepertinya ia berhasil mengatasi perasaannya pada Adhit.
"Shil? Kamu pernah membayangkan, nggak bagaimana seharusnya kamu bereaksi ketika bertemu Adhit?"
Shila tersedak napasnya sendiri. Mi goreng dan nasi goreng bergulung-gulung di perutnya. Menciptakan topan-topan yang berputar di usus dan merangkak naik. Shila menutup mulut dan menekan perutnya.
"Kamu oke, Shil?" Febi memandangnya khawatir. Shila bergegas minum air putih untuk mengatasi mualnya.
"Seharusnya kamu tidak mengajukan pertanyaan seperti itu saat aku selesai makan banyak." Shila berusaha bersendawa.
"Maaf. Hanya saja, cepat atau lambat kalian akan bertemu, kan? Cilacap kota kecil, kalian berada di tempat yang sama sekarang. Dan kurasa Adhit mungkin juga sedang menunggu saat-saat bertemu denganmu."
Shila memicingkan mata, menatap Febi penuh rasa ingin tahu.
"Kamu tidak memberi tahu dia tentang kedatanganku, kan? Dari tadi kamu sibuk chat, apa itu sama dia? Kamu lagi ngelaporin pertemuan-pertemuan kita?"
"Ti-tidak, Shil! Aku tidak seperti itu! Tidak ada yang tahu kamu akan datang kecuali aku. Dan kamu tidak membalas e-mail yang dikirim kepadamu. Kamu hanya membalas e-mail pribadiku."
"Ya. Aku memang tidak membalas e-mail dari panitia reuni. Apa itu akan jadi masalah?"
"YA! Kamu tidak akan dapat konsumsi. Hahaha."
"Astaga, Feb. Aku lupa iuran!" Shila membuka dompetnya dan memberikan sejumlah uang kepada Febi.
"Harus aku tulis atas nama siapa, Shil?"
"Memangnya dia bakalan ngecek?"
"Oh, iya. Dia selalu mengecek daftar kehadiran setiap saat dia bisa. Dia, dia sangat merindukanmu, Shil."
Topan kembali bergulung di perut Shila. Febi benar, ia harus mulai memikirkan bagaimana sikapnya jika nanti bertemu Adhit. Dan bagaimana perasaannya? Puluhan tahun berlalu, kehidupan berjalan, tapi ia tidak pernah bisa menghapus jejak Adhit di hatinya. Ia tidak bisa menghapus cinta Adhit dengan cinta yang lain. Topan di perut Shila menghilang, berganti nyeri di dadanya. Bagai puluhan silet menggores hatinya perlahan. Perlahan. Sangat perlahan tapi tidak terlalu dalam. Membiarkan torehan-torehan tipis itu melebar sendiri tiap kali ia bernapas. Menyakitkan. Shila merasa matanya mulai lembap.
"Hmm. Anginnya kencang, Shil. Dingin. Kayaknya mau hujan. Aneh banget cuacanya. Padahal udah lama nggak turun hujan. Pulang, yuk!" Febi bergegas membereskan barangnya yang terserak di meja. Tas tangan, kunci, HP, dan cermin. Ia membuka dompet hendak membayar makanan mereka.
Shila memeluk tubuhnya sendiri. Ia tahu hujan bisa turun di hatinya. Hujan di hati, hujan di bumi. Bersama nyanyian yang akan terdengar menemaninya. Tapi sudah lama itu tidak terjadi, lama sekali. Shila ingat kapan terakhir kali ia menangis. Kapan terakhir kali hujan di hatinya turun. Kapan terakhir kali hujan bernyanyi terdengar? Lama. Lama sekali. Dan air matanya tak pernah lagi turun selama 20 tahun.
"Shil?" Febi membuyarkan lamunan-lamunannya. Shila mengangguk dan mengikuti Febi ke mobil. Ia tidak akan menangis. Tidak malam ini.

***

(sebulan sebelum reuni)
Ervan memandang berkali-kali undangan yang datang ke e-mailnya. Sudah puluhan tahun ia lulus dari Harapan Bangsa. Sesekali ia masih sering bertemu dengan beberapa temannya. Sesekali ia masih pulang ke Cilacap mengunjungi neneknya ketika lebaran. Orang tuanya sudah pindah ke Bekasi sejak pensiun. Mereka ikut adik bungsunya yang bekerja di sana. Ervan sendiri memilih tinggal dan berkarir di Tangerang. Menikah dengan perempuan pilihan keluarga dan melupakan perempuan masa lalunya.
Reuni 20 tahun. Sudah selama itu ia berpisah dengan perempuan masa lalunya. Sejak perpisahan sekolah, jejaknya menghilang. Tak bisa ia telusuri. Bahkan pesta pernikahannya pun luput dari pantauannya. Ia kehilangan jejak bertahun-tahun. Puluhan tahun. Sekarang, apa mungkin ia datang?
"Arrgghhh!"
Ervan mengucek-ngucek rambutnya yang mulai gondrong. Meraba kulit wajahnya yang kasar. Sudah berapa lama ia kacau begini. Bahkan tadi malam ia tidur di kantor. Semua gara-gara perempuan sialan itu! Istrinya. Seseorang yang ia pikir bisa menghapus kenangan-kenangan tentang perempuan masa lalunya. Nyatanya, perempuan yang masih kerabat jauh ibunya itu malah memberinya tekanan-tekanan yang kian hari kian menghimpitnya. Bagai terkurung di ruang sempit, yang lama kelamaan membuatnya kehabisan oksigen.
Ervan bangkit dari kursinya. Menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Mengenakan deodorant dan membasahi rambutnya sedikit. Ia lebih segar sekarang. Tidur di kantor bukan hal baru baginya. Apalagi jika Bos Besar menang tender mega proyek, ia akan tidur berhari-hari di kantor. Sebagai staf dalam bidang design, Ervan selalu dituntut menghasilkan design yang elegant dan tidak biasa. Koordinasi dengan rekan satu tim akan lebih mudah jika mereka bekerja di ruang yang sama sampai design disetujui.
Ervan membuka locker karyawan, mengeluarkan kemeja yang lebih bersih dan memasukkan kemeja lama ke kantong laundry. Kebiasaan tidur di kantor membuatnya selalu siap dengan peralatan mandi, wangi-wangian dan juga pakaian ganti. Setelah cukup rapi, ia memutuskan pergi ke kantin di lantai bawah untuk mengisi perutnya. Otaknya juga butuh asupan kafein supaya lebih fokus. Nanti siang ia akan minta izin setengah hari kepada HRD, ia memutuskan akan melakukan sesuatu yang seharusnya sudah lama ia lakukan. Ia juga akan mengajukan cuti satu minggu. Ia butuh liburan. Menghadiri reuni bulan Maret pasti akan menyegarkan perasaan juga kehidupannya. Mungkin juga menyegarkan harapan-harapannya.
Ervan tiba di rumahnya lebih awal. Istrinya masih kerja dan anak-anaknya masih sekolah. Ah, anak-anaknya. Terkadang Ervan bingung, bagaimana mungkin hubungan tanpa cinta bisa membuahkan benih. Mungkin, sebenarnya, ada sedikit cinta di hatinya. Cinta, atau kompromi? Entahlah.
Ia memasuki kamar mereka. Melemparkan kantong laundry berisi pakaian kotor ke sudut ruangan. Matanya menangkap benda hitam yang berkedip-kedip di meja kecil dekat tempat tidur. Ada satu aturan dalam pernikahan mereka, satu sama lain akan saling menghargai wilayah kerja masing-masing. Termasuk tidak usil mengutak-atik HP pasangan. Tapi kali ini, Ervan begitu ingin melanggar aturan itu. Tangannya terjulur meraih HP istrinya yang tertinggal. HP itu terus berkedip tanpa suara. Panggilan masuk yang tak terjawab pun akhirnya diam. Seolah tahu Ervan akan mengangkatnya.
Ia tidak mengenal nama seseorang yang baru saja menelepon. Seperti ia tidak mengenal ratusan nama dalam buku telepon HP istrinya. Tapi satu nama dalam kotak whatsapp yang belum dibersihkan percakapannya, mengusik perhatiannya. Pertama kali, sepanjang usia pernikahannya, Ervan merasa benar karena tidak pernah tulus mencintai istrinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEN IN THE LOCKERS

AWALNYA

(16) - SERANGAN AWAL