(16) - SERANGAN AWAL





Tidak perlu waktu lama untuk membujuk kucing yang kelaparan. Setelah berhari-hari tidak makan enak, kucing kelaparan yang mulai gila dan liar akan dengan lahap menyantap menu yang tersaji lengkap di atas meja. Mungkin kucing liar itu akan sedikit kalap dan ingin menghabiskan seluruh makanan di meja itu. Dia mengacak-acak piring satu dan piring yang lain. Dicicipi sedikit, dilepeh. Lalu pindah ke piring yang lain. Digigit sedikit, lalu dibuang. Begitu seterusnya hingga akhirnya dia bosan dan meninggalkan hidangan di atas meja, mencari makanan lain yang lebih menggugah selera.
Hastuti menggelinjang di atas kasur. Di atas tubuhnya, Wijat mencapai puncaknya yang pertama. Ini baru permulaan, pikir Hastuti. Dia masih punya bermacam cara untuk membuat laki-laki yang kini terengah di sampingnya tak bisa lagi lepas darinya. Dia juga berencana agar laki-laki ini meninggalkan perempuan yang telah menjadikannya simpanan. Oh, ya, dia tahu semuanya tentang Wijat. Mungkin dipikirnya, Hastuti tidak tahu mengapa Wijat begitu antusias mendekatinya. Kalau bukan karena perusahaan Wijat kalah tender dari perusahaan suaminya, dia rasa akan sedikit sulit membawa Wijat ke tempat tidur. Yah, mengingat di masa lalu, mereka tidak memiliki hal-hal yang cukup manis untuk dikenang. Meskipun Hastuti kini telah berubah 180 derajat tidak lantas membuat Wijat akan menurunkan gengsinya dan menerima uluran tangan Hastuti begitu saja.
“Kamu, luar biasa, Tik.” Matanya terpejam, merasakan sensasi yang baru saja mengaliri tubuhnya.
“Kamu belum menyerah, kan? Karena buatku, ini cuma pemanasan.” Hastuti berdiri dan berjalan ke meja kecil di kamar hotel. Dia mengambil botol berukuran sedang, berwarna cokelat. Dibukanya tutup botol itu dan dituangkannya isinya ke tubuh Wijat. Sedikit demi sedikit.
“A-apa ini?” Aroma manis menguar di udara, bercampur aroma wewangian dari pendingin ruangan.
“Sedikit variasi yang tidak akan kamu lupakan.”
Hastuti menuang sedikit lebih banyak di selangkangan Wijat. Dia melempar botol kosong tersebut ke atas karpet hotel yang tebal. Botolnya menggelinding, terus menggelinding, hingga membentur kaki mejadan berhenti di sana. Wijat mulai terengah nikmat, saat lidah Hastuti menyusuri jejak-jejak yang dibuat cairan manis tadi. Malam ini tidak akan berakhir singkat, Jat. Ini baru awalnya. Hastuti mengulum senyum, sambil terus merangkak ke bagian bawah tubuh Wijat. Membuat napas Wijat, semakin tertahan.

*****

Suara gemericik air dari shower di kamar mandi mengusik tidur Wijat. Jam berapa sekarang? Dia meraih ponsel dari meja kecil di samping tempat tidur, melihat lingkaran jam di sana dan mengempaskan kembali tubuhnya di atas kasur. Sudah terlalu siang dia bangun. Teman-teman pasti sudah berangkat ke Nusakambangan. Dia terlambat.Tidak heran dia tidur hingga hampir tengah hari. Semalaman, Hastuti benar-benar menguras tenaganya. Belum pernah dia bertemu perempuan dengan imajinasi seperti Hastuti. Mungkin karena dia bersuamikan bule, makanya imajinasinya pun tidak biasa. Suara air masih terdengar monoton dari kamar mandi. Sepertinya Hastuti sengaja membuka pintunya saat mandi. Seperti sebuah undangan. Wijat pun turun perlahan dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi tanpa sehelai benang pun.

“Sudah terlalu siang untuk sarapan. Kita cari makan di luar atau makan siang di hotel saja? Kalau kamu lelah, kita bisa minta layanan kamar.” Hastuti mengecup kening Wijat yang berbaring malas di atas kasur. Tangannya sibuk memencet tombol remote dan memindah-mindahkan saluran secara acak. Tidak ada tontonan menarik.
“Aku malas ke luar. Kita di hotel saja siang ini. Nanti malam baru kita cari makan di luar. Lagi pula sudah terlalu terlambat untuk ikut tur ke pulau, kan?”
Hastuti tergelak.
“Aku memang tidak mendaftar untuk tur itu. Sejak awal aku sudah merencanakan tur yang lebih menarik,” ujarnya sambil mengerling ke arah Wijat.
“Oh, ya? Tur apa?”
“Tur bersamamulah!” Hastuti tertawa, memamerkan gigi-giginya yang rata sempurna. “Ayolah, Jat nggak usah ditutup-tutupi lagi profesi sampinganmu itu. Aku sudah tau reputasimu dari arisan. Apa bakal lebih baik kalau aku memanggilmu ‘Mike?’” Hastuti menyeringai sinis, tatapannya terlihat dingin dan penuh rasa sakit.
Wijat teringat, sekelompok tante-tante kesepian pernah menawarinya untuk memuaskan salah satu dari mereka selama seharian. Tugasnya sangat mudah, cukup menemani salah seorang dari mereka dan memberikan pelayanan seksual yang memuaskan. Untungnya yang harus dia temani bukan perempuan seperti Hastuti, jadi dia bisa dengan mudah memberikan reputasi yang baik. Sekarang dia jadi tahu, mengapa temannya di Alexis bilang bahwa dia gagal. Hastuti bukan perempuan yang mudah terpuaskan.
“Apa saja yang kamu ketahui tentang aku?” Wijat berbaring miring, menumpukan badannya pada salah satu siku. Matanya mengikuti gerak Hastuti yang sedang mematut-matut diri di depan cermin.
“Semuanya! Atasan yang menjadikanmu simpanan, siapa-siapa saja mantan teman kencanmu termasuk juga tentang kekalahanmu dalam mega proyek bulan lalu.” Hastuti mengerling ke arah Wijat. Ingin tahu seperti apa reaksinya.
“Kamu, kamu …, apa sebenarnya tujuanmu? Menjebakku?” Wijat sedikit tersinggung mengetahui kenyataan, jika Hastuti tahu tentang dirinya lebih banyak. Kini tubuhnya sedikit tegang dan dia pun duduk bersila di atas kasur.
“Menjebakmu? Ayolah, untuk apa? Aku hanya tidak mau tidur dengan sembarang orang yang tidak jelas asal-usulnya. Aku juga ingin membuktikan kebenaran cerita teman-temanku. Sehebat apa, sih dirimu?” Hastuti berdiri di depannya dan berkacak pinggang. “Kuakui …, kamu lumayan juga. Tapi kalau kamu masih menginginkan proyek itu, kamu harus memberiku yang lebih dari semalam!”
Hastuti masih berdiri memandangi Wijat dan tersenyum misterius.
“Kamu masih ingin proyek itu tidak?” Hastuti membungkuk, menciumi wajah dan telinga Wijat. “Aku bisa membantumu,” bisiknya sambil menggigit cuping telinga Wijat.
Tubuh Wijat semakin menegang. Seharusnya posisinya tidak seperti ini. Seharusnya dialah yang menjebak Hastuti dan membuatnya menuruti apa maunya. Sekarang, keadaan menjadi terbalik. Hastuti memegang semua kartu AS nya. Bahkan dia tahu siapa perempuan yang menjadikannya simpanan. Ini bisa gawat! Jika sampai Hastuti membocorkan ke mana-mana tentang perselingkuhannya dengan Bu Elli, dia harus mengawini perempuan tua itu, karena suami Bu Elli pasti akan mencampakkannya tanpa uang seperser pun. Wijat begidik membayangkan akan menghabiskan waktu seumur hidup dengan perempuan tua, miskin, jelek (tanpa perawatan, Bu Elli akan cepat menjadi jelek) yang lebih pantas menjadi kakaknya dari pada istrinya.
“Apa rencanamu?” tanya Wijat sambil memiringkan wajah. Muka mereka kini berhadap-hadapan. Bibir Hastuti berjarak satu inci dari bibirnya.
“Seperti kataku, kamu harus memberi yang lebih dari semalam. Apa tawaranmu?” tanya Hastuti. Wijat terkejut, memundurkan tubuhnya. Betul seperti perkiraannya, Hastuti menjebaknya. Sekarang dia benar-benar harus menuruti apa maunya perempuan ini.
“Kenapa, Jat? Kamu pikir aku akan memberikan bantuanku secara gratis? Laki-laki seperti kamu itu gampang dicari. Dalam semalam aku bisa mendapatkan beberapa. Kalian-kalian itu gampang dipancing, pakai uang segepok aja, beres! Iya, kan?” Hastuti tertawa sinis. Dia berjalan ke arah balkon hotel, membuka pintunya lebar-lebar. Menyalakan rokok yang dijepitnya sedari tadi.
Wijat masih mematung di posisi duduknya. Kondisinya terjepit. Di satu pihak, dia harus bertanggung jawab pada Bu Elli. Di sisi lain, kini Hastuti memegang kendali atasnya. Hastuti, Hastuti yang dulu dia lecehkan, dia cemooh, bahkan dia tendang dan ludahi, kini Hastuti dengan penampilan yang lebih menarik, tampilan luar yang lebih menawan, Hastuti yang ini melecehkannya dengan cara yang lebih elegan. Apakah ini pembalasannya di masa lalu?
“Kamu melakukan semua ini, karena perlakuanku di masa lalu?”
“Melakukan apa, sih? Kamu berlebihan, deh, Jat. Aku cuma mau nolongin kamu dapetin sebagian tender dari mega proyek itu, kamu pasti tau, kan? Pemenang utamanya adalah perusahaan tempat suamiku bekerja. Aku bisa mempengaruhinya agar memberikan sedikit bagian untukmu, untuk perusahaanmu. Itu, kan yang kamu mau?”
Hastuti mengepulkan asap dari mulutnya, membuang jauh ke luar balkon. Dia tidak ingin bertindak gegabah sehingga asap-asap itu masuk ke kamar dan mengaktifkan penyiram otomatis. Memalukan jika itu sampai terjadi!
"Apa yang kamu minta sebagai bayarannya?" tanya Wijat dingin. Dia mulai menyesali hubungannya dengan Hastuti, meski baru sesaat. Instingnya mengatakan, dia wanita yang berbahaya dan harus dijauhi.
"Sederhana saja. Kamu tahu, dari SMA pikiranku tidak pernah rumit. Tahu apa sebabnya? Kalian yang membuat pikiranku terkunci. Kalian membuat aku tidak berkutik, tidak boleh memilih, tidak boleh mengutarakan pendapat, dan lainnya dan lainnya. Tapi tak apa. Aku jadi terbiasa dengan pikiran yang sederhana."
"Jadi benar, kan? Kamu sedang membalaskan dendammu?"
Hastuti mematikan rokok di asbak dekat pintu balkon. Matanya menatap sedih pada Wijat.
"Oh, sayang..., jangan bermuka sendu gitu, dong. Memangnya apa yang mau aku lakukan? Aku tidak seburuk dugaanmu. Aku tidak akan mempermalukanmu seperti dulu kamu mempermalukanku. Ckckck. Aku tidal sejahat itu, Sayang." Hastuti duduk di samping Wijat, membelai pipi dengan sebelah tangannya.
"Katakan saja cepat, Tik. Apa maumu!" Wijat mulai kehilangan kendali atas kesabarannya. Hastuti berdiri, berjalan ke arah tasnya tergeletak. Mengambil rokoknya lagi dan menyulutnya saat tiba di balkon.
"Sama seperti perempuan tua itu." Hastuti mengisap dalam-dalam sebelum mengembuskan asapnya.
"Ap-apa?" Wijat memandangnya tak percaya. Berharap pendengarannya salah. Ini diluar perkiraannya. Dia membayangkan Hastuti akan menyuruhnya melakukan sesuatu yang memalukan. Seperti yang pernah dilakukannya dulu. Dia dan gengnya, Nunu, Acay, dan Yanto, sering melakukan hal-hal menjijikan kadang tak senonoh pada Hastuti. Dulu mereka hampir tidak menganggap Hastuti itu manusia. Dia menganggap Hastuti hanya segumpal daging berlemak yang menyebalkan. Memandangnya saja sudah jijik dan keinginan menyakiti itu terlintas begitu saja saat melihat sosok Hastuti.
Bayangan masa lalu mereka tidak begitu jelas diingat Wijat. Baginya, segala sesuatu tentang Hastuti bukan hal indah untuk dikenang. Tapi saat ini, saat dirinya berada dalam kendali Hastuti, bayangan busuk itu menelisik perlahan ke sela-sela ingatannya. Dan dia menjadi mual mengingatnya. Sedikit tidak percaya bahwa mereka pernah melakukan hal-hal buruk itu.
"Bagaimana, Jat? Aku butuh jawabanmu segera. Supaya bisa kususun semua rencana-rencanaku." Hastuti masih mengepulkan asapnya ke luar balkon. Tubuh indah dan permainan erotis Hastuti tidak menarik lagi bagi Wijat. Dia menjadi benci pada wanita ini.
"Aku harus meninggalkan Bu Elli dan menjadi gundikmu? Begitu?" Hastuti menoleh pada Wijat. Senyum manisnya seperti dibuat-buat.
"Kamu tidak suka?"
"Tidak semudah itu meninggalkan dia, Tik. Aku masih butuh pekerjaan."
"Apanya yang susah? Bu Elli bisa apa kalau kamu tinggalkan? Menangis meraung-raung atau mengancam bunuh diri? Kurasa dia nggak akan sebodoh itu, deh. Mempertaruhkan kehilangan segalanya buat seseorang seperti kamu. Dia bisa, kok cari yang lain." Hastuti memandang Wijat sinis.
"Masalah kerjaan, kamu harus secepatnya keluar dari sana. Segera setelah kuberikan sub kontrak kepadamu. Setelah itu, kamu akan bekerja di perusahaan yang kurekomendasikan. Enak, kan, Jat? Kamu hanya perlu menjaga tubuh dan staminamu agar selalu bisa memuaskanku."
Pertama kali sejak Wijat memutuskan mencari sampingan sebagai laki-laki pemuas, dia menyesali keputusannya. Kini dia terjebak dalam permainan yang awalnya dia ciptakan.
"Kalau aku menolak?" tanya Wijat dingin. Hastuti memandangnya tajam.
"Aku akan membuatmu merasakan penderitaan sepuluh kali lipat lebih besar dari yang kurasakan dulu. Ingat? Waktu itu, di hadapan 300 siswa? Dan percayalah, aku sanggup melakukannya."
Bayangan celana dalam Hastuti berkibar di tiang bendera, berkelebat dalam ingatan Wijat. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEN IN THE LOCKERS

AWALNYA