LET'S EAT!
Suksesnya acara silaturahmi Idul Fitri tahun kemarin menyisakan
kebiasaan baru di cluster saya. Ibu-ibu jadi suka ngumpul terus masak bareng dan
makan ramai-ramai beralaskan daun pisang. Dari lauk sederhana hanya sambal jengkol
dan lalap daun singkong rebus, hingga menu serba sea food ala-ala resto di pinggir
pantai. Tidak ada jadwal khusus kapan acara makan bersama akan diadakan. Tidak ada
keharusan berpartisipasi di tiap acara makan-makan. Bebas saja. Misalkan ketika
ada rencana mau bakar ikan, saya memilih tidak ikut. Karena saya tidak suka aroma
ikan yang dibakar. Mual.
Besarnya iuran pun beragam. Tergantung menu yang akan di masak.
Kalau hanya sekadar sambal jengkol, sepuluh ribu saja cukup. Nasi bawa dari rumah
masing-masing. Sepuluh ribu untuk satu keluarga. Yang punya anak banyak, tetap saja
bayarnya sama. Untung, kan? Yang penting kebersamaannya. Dan jangan membicarakan
diet di acara seperti ini. Bisa rusak selera makan.
Demi lancarnya aliran informasi, ibu-ibu yang biasa berpartisipasi
dalam setiap acara sepakat untuk membentuk WAG. Di grup tersebut akan di share menu
apa saja yang selanjutnya akan dicoba. Juga berapa iuran dan kapan pelaksanaannya.
Tidak semua ibu-ibu cluster masuk di grup itu. Termasuk Nyonya. Dia memilih tidak
ikut dalam setiap acara masak dan makan bersama. Walaupun mentasbihkan dirinya sebagai
sosialita cluster, Nyonya termasuk pemilih soal berteman. Dia bukan pendukung ibu
RT yang saat ini menjabat. Kebetulan di grup makan ini, ibu RT termasuk partisipan
aktif. Sebagai gantinya, Nyonya membentuk grup tandingan yang beranggotakan tetangga
dekat dan teman-teman dekatnya. Sialnya saya termasuk orang yang dimasukkan Nyonya
ke dalam grup. Mungkin dia sengaja agar saya bisa menjadi corong, menyampaikan apa-apa
saja kegiatan Nyonya kepada ibu RT. Tapi saya bukan tipe corong. Saya tipe pasir
hisap. Menyerap informasi dari sana sini dan membocorkannya jauh-jauh di tempat
antah berantah yang tak terdeteksi radar cluster saya.
Siang ini, grup makan berencana membuat soto ayam. Sudah menjadi
rahasia umum, soto buatan Bu RT terkenal lezat. Kaya bumbu dan rempah, gurih, dan
kental. Ditambah tempe tepung yang renyah dan pedasnya cabe setan, membuat semangkok
soto tidak akan pernah cukup. Saya bukan tipe orang yang pelit pujian dan malu-malu.
Selepas acara makan usai saya pun memuji Bu RT dan minta semangkuk kuahnya untuk
dibawa pulang. Isian soto bisa saya racik sendiri. Yang penting bisa bawa pulang
kuah agak banyak agar bisa dinikmati seluruh keluarga. Kedua anak saya bukan tipe
pengekor ibunya. Jika ada acara seperti ini, mereka pasti menolak ikut. Tapi ketidakikutan
mereka bersyarat.
"Bungkusin, ya, Mah!" kata mereka bersamaan ketika
saya pergi. Kompak.
Dengan hati-hati saya membawa pulang mangkok yang berisi kuah
soto yang masih panas. Setiba di depan rumah Nyonya, dia menyapa saya sambil menyapu
halaman yang sudah bersih.
"Dari mana Mak Noah?"
"Dari fasum, Mak Radit." Nama anak keduanya Radit.
Seumuran Noah. Di sini, ibu-ibu dipanggil berdasarkan nama anak yang biasa terlihat
bermain. Anak sulung saya tidak suka keluar rumah dan lebih memilih main game atau
membaca buku daripada bermain di jalan atau di fasum. Berbeda dengan adiknya. Noah
sangat mudah mendapatkan teman. Setiap hari ada saja temannya yang datang ke rumah
mencari. Di cluster ini, orang lebih mengenal Noah ketimbang Adam.
"Ada acara apa di fasum?"
"Biasa, ibu-ibu pada ngumpul makan-makan."
Mulutnya membentuk huruf 'O' dan kepalanya mengangguk-angguk.
Sepertinya dia mengerti, tapi sorot matanya seolah ingin bertanya sesuatu.
"Masak apa?" Akhirnya dia bertanya juga.
"Soto. Bu RT yang bikin. Maknyus!" Sengaja saya sebutkan
siapa yang masak. Meski sudah tahu seperti apa reaksinya, tetap saja asyik melihat
dia penasaran.
"Oh, iya. Kayak apa maknyusnya? Itu yang dibawa sotonya
Bu RT?" tunjuknya pada mangkok di tangan saya.
"Iya. Tapi cuma kuahnya doang."
"Saya mau coba, dong. Sedikit juga nggak apa."
"Tapi nggak ada isi, lho, Mak. Kosongan."
"Nggak masalah. Sebentar, ya." Dia menghilang ke dalam
rumah. Mungkin mau ambil mangkok. Saya jadi menyesal tadi memuji Bu RT.
Tidak lama dia pun keluar rumah sambil membawa ... Sendok?
"Saya mau cicip, sedikit saja, kok," katanya sambil
langsung menyelupkan sendok ke dalam mangkuk tanpa menunggu izin dari saya.
"Hmm. Kurang terasa, ya kalau cuma sesendok," katanya
lagi sambil menyelupkan sendok untuk yang kedua kalinya. Membuat adrenalin saya
melonjak tiba-tiba.
"Kenapa nggak ambil mangkuk saja, sih, Mak? Emangnya saya
mau makan bekasan situ?" kata saya sebal sambil meletakkan mangkuk kuah soto
di tangannya. Lalu pergi meninggalkan dia tanpa menoleh lagi.
Adam, Noah, maaf, ya, Mamah nggak bawa apa-apa ...
Soto buatan Nyonya datang keesokan harinya, ketika anak-anak
masih di sekolah dan suami saya masih di kantor. Semangkuk besar soto dengan kuah
yang masih mengepul panas. Mungkin sebagai tanda permintaan maaf. Dari tampilan
kuah dan potongan ayamnya yang besar-besar, saya membayangkan rasanya tak kalah
enak dengan soto Bu RT. Saya yang sebenarnya masih sebal, dalam hati sedikit memaafkan
perbuatan Nyonya kemarin. Sedikit saja.
Tanpa pikir panjang, saya pun mengambil sendok dan menyuapkan
satu sendok penuh soto ke mulut saya. Belum sampai soto tersebut ke tenggorokan,
aroma amis membanjiri rongga mulut. Spontan saya berlari ke wastafel dan memuntahkan
soto dari dalam mulut. Pikiran jelek menyelusup masuk ke otak, apa Nyonya mau meracuni
saya? Kuahnya, sih masih oke. Ada rasa asin dan gurih dari santannya, tapi daging
ayamnya kenapa bau dan amis? Saya masih berpikiran positif. Kesalahan bukan dari
pihak Nyonya. Mungkin ayam yang dia beli sudah jelek atau tidak sempurna sembelihannya.
Atau bisa jadi Nyonya punya selera makan yang aneh. Mungkin dia masih ada keturunan
werewolf jadi suka sama daging yang setengah matang dan berbau amis. Entahlah. Yang
jelas, semangkuk besar soto ini tidak akan termakan oleh saya, suami, dan anak-anak.
Saya pun membuang kuah sotonya ke wastafel sementara isiannya saya masukan plastik
rangkap-rangkap dan akan saya buang jauh-jauh dari lingkungan rumah.
Seminggu setelah peristiwa soto, grup makan-makan membuat acara
lagi. Kali ini bukan makanan berat. Hanya sekadar ngumpul di bawah pohon rindang
di area fasum sambil menikmati aneka irisan buah segar kumplit dengan cocolannya.
Alyas rujakan. Minumnya es oyen ala-ala. Cuaca Batam yang gerah beberapa hari ini
membuat malas makan dan inginnya minum terus. Ide rujakan datang dari Bu RT karena
dia melihat di lingkungan cluster banyak sekali pohon jambu dan mangga yang berbuah.
Ditambah beberapa varian buah dari pasar, satu nampan besar irisan buah siap diserbu
di hari yang terik ini.
Salah seorang anggota grup makan-makan yang gemar memposting
setiap kegiatannya di medsos melakukan siaran langsung. Wajah ibu-ibu yang belepotan
bumbu, yang megap-megap kepedesan, yang keringetan, yang berebut kerupuk dan bakwan,
semua terekam satu per satu. Tersiar ke seantero medsos. Saya tahu pasti ibu yang
melakukan siaran langsung tersebut berteman dengan Nyonya. Perasaan saya langsung
tidak enak.
Benar saja, sepulang dari acara rujakan, Nyonya sudah menunggu
di depan rumah. Entah angin jenis apa yang mengipasi kepala Nyonya sore ini. Tumben-tumbennya
dia duduk di kursi di depan pagar garasi sambil bermain HP. Anak bungsunya yang
berusia lima tahun dibiarkan main pasir di pinggir selokan. Padahal biasanya Nyonya
paling bawel soal kebersihan dan moral anaknya. Awal dia tinggal di cluster kami,
Nyonya melarang anaknya, yang saat itu baru satu, untuk bermain di luar dengan anak-anak
cluster yang lain. Alasan Nyonya, lingkungan kami bukan lingkungan yang baik untuk
anaknya tumbuh dan berkembang. Menurut Nyonya, anak-anak di lingkungan cluster tidak
berpendidikan dan kasar. Alhasil karena kurang bergaul dan hanya diberi game sepanjang
hari, anak Nyonya tumbuh menjadi anak yang cengeng, pemarah, dan gagap. Namun Nyonya
tidak mengakui jika kekurangan anaknya dikarenakan sikap overprotected yang dia
lakukan. Dia hanya bilang jika anaknya begitu karena bawaan lahir dan anugerah yang
diberikan oleh Yang Maha Kuasa.
"Baru dari fasum Mak Noah?" tanya Nyonya dengan nada
diramah-ramahkan. Dengan sigap dia langsung berdiri dan menghadang jalan pulang
saya.
"Iya Mak Radit. Abis rujakan sama ibu-ibu."
"Mana rujaknya? Kok, nggak bawa apa-apa?" selidiknya.
Matanya mengarah pada dua tangan saya yang bebas melenggang.
"Ya abislah Mak dimakan rame-rame. Makanya Mak, ikut gabung
sama kita-kita biar nggak penasaran."
"Siapa yang penasaran? Kalau cuma rujak, saya juga bisa
bikin, kok." Dia membuang muka dan meninggalkan saya yang geleng-geleng kepala
sendirian.
"Reno! Masuk! Jangan main di luar, banyak kuman!" Suaranya
menggelegar dari dalam rumah. Memanggil anak bungsunya yang masih ketinggalan di
luar.
"Renooo!!! Mami punya es krim!" Teriaknya lebih keras
karena anaknya tak kunjung beranjak dari pinggir selokan. Mendengar kata es krim,
langsung Si Bungsu Reno melesat cepat masuk ke rumah. Sekilas saya melihat ada bayangan
bergerak di balik kaca jendela rumah Nyonya. Dengan gerakan disengaja, saya mengeluarkan bungkusan dari saku
jaket bagian dalam. Seplastik irisan buah dan seplastik bumbu rujak. Dengan sengaja
juga, saya melangkah sambil mengayun-ayunkan bungkusan yang saya tenteng.
'I'm turning my head up and down
I'm turning turning turning turning turning around
And all that I can see is just another lemon-tree'
Saya lupa tepatnya berapa hari sejak acara rujakan di fasum.
Yang saya ingat hari itu kepala saya sangat pusing. Mungkin mau datang bulan. Saya
pun malas makan dan maunya makan yang pedas dan segar seperti mie instan kuah dengan
irisan cabe rawit dan sayuran segar. Saya pun menyalakan kompor hendak merebus mie.
Sebuah ketukan di pintu membuat saya urung memasukkan mie ke dalam panci.
"Ini dari mami." Radit menyodorkan mangkuk tertutup
kepada saya.
"Wah, apa ini?"
"Kata mami rujak."
"Rajin, ya mamimu bikin makanan. Eh, kamu nggak sekolah,
Dit?"
"Kesiangan tante."
"Oh. Bilang mamimu, makasih, ya."
Radit pun berlalu setelah mengucap permisi. Nyonya memang aneh.
Anak-anaknya sering sekali membolos sekolah karena hal sepele. Kalau hujan deras,
mereka tidak sekolah. Padahal mereka punya mobil. Kalau masuk angin, tidak sekolah
juga. Tapi di rumah juga anaknya tidak kelihatan menderita seperti orang sakit.
Malah Nyonya memasang kolam renang karet dan membiarkan anak-anaknya berenang hampir
sepanjang hari.
Mangkuk tupperware berisi irisan buah segar sangat menggoda harumnya
begitu di buka. Terbayang rasa manis, pedas, segarnya buah dan sambal rujaknya.
Saya pun urung membuat mie. Lidah saya sudah berliur membayangkan rasa rujaknya.
Saya cocol sebuah nanas ke sambal rujak yang masih dalam plastik. Dan ... Oh my
God!
Saya lepehkan lagi gigitan yang sempat masuk ke dalam mulut.
Lidah saya seperti tersambar petir. Panas. Mungkin seperti ini rasanya jika disengat
ratusan lipan di lidah. Membuat airmata berleleran dan liur menetes tak terkendali.
Cepat-cepat saya taburi gula pasir di atas lidah dengan harapan panasnya reda. Mata
saya masih berair dan mulut masih megap-megap. Tangan saya mengipasi lidah yang
keluar masuk mulut menahan panas dan liur yang terus mengalir. Di depan kipas angin,
saya julurkan lidah keluar. Lumayan adem.
Setelah reda semua sensasi petir yang saya alami saya mulai berpikir,
Nyonya kesambet setan mana, sih? Atau memang seleranya yang aneh? Ini cabe rawit
berapa kilo, ya yang dibuat bumbu rujak? Bukan hanya pedas menyengat, rasanya pun
sedikit aneh. Seperti ada rasa bawang putihnya. Mungkin maksudnya bikin sambal rujak
bumbu kacang. Tapi kebanyakan bawang putihnya, kacang tanahnya juga terlalu sedikit
dan terlalu lembut. Jadinya lebih cocok disebut bumbu sate penangkal vampir.
"Gimana Mak Noah, enak, nggak rujak buatanku?" tanya
Nyonya ketika saya keluar rumah hendak membuang sampah. Bumbu rujak Nyonya sudah
saya larutkan di air wastafel. Buahnya saya masukkan kulkas. Nanti, ketika suami
saya pulang kerja, irisan buah dingin akan saya sajikan dengan cocolan irisan cabe
rawit dan kecap asin yang diberi gula pasir sedikit. Kecap asinnya khusus buatan
Malaysia yang rasanya sangat gurih nikmat.
"Kepedesan, Mak. Saya nggak kuat."
"Masa pedes, sih? Buatku itu masih standar."
Buset, dah. Segitu pedes dibilang standar.
"Memangnya Mak Radit pake cabe apa?"
"Cabe setan. Cuma seons, kok."
Cuma? Seons? Lidah Nyonya pasti sudah kapalan. Sehingga indera
pengecapnya sedikit linglung. Saya tersenyum canggung dan permisi masuk ke dalam
rumah.
Beberapa hari kemudian, tepatnya hari Minggu, Nyonya berdiri
di depan rumah saya sebelum jam makan siang. Dengan memegang mangkuk porselen yang
kelihatannya panas. Buat saya, saat itu seperti melihat Lord Voldemort yang sedang
mengacungkan tongkat hendak mengucap 'avada kedavra'. Hidup saya hampir berakhir.
"Ya?" Saya tersenyum sambil membuka pintu. Dada saya
berdebar kencang. Inikah yang namanya cinta?
"Aku bikin miso. Cobain, ya. Sambalnya dipisah. Nggak usah
khawatir kepedesan."
Oke. Saya belum pernah makan miso. Jika rasanya ekstrim, tak
masalah. Anggap saja sedang mencoba kuliner baru. Tidak selalu harus cocok, kan?
Saya mengambil mangkuk di tangan Nyonya dan mengucap terima kasih.
Ketika membalikkan badan, suami dan kedua anak saya memandangi saya dengan tatapan
khawatir, takut, was-was, bahkan suami saya terang-terangan mengangkat tangan.
"Apa?" tanya saya kepadanya.
"Papa nggak mau makan."
"Miso, nih. Papa pernah makan, kan waktu ada acara apa itu
di kantor."
"Khusus masakan dia, papah nggak mau coba-coba. Mamah aja
yang terusin hobby mamah, cobain masakan ekstrim." Suami saya melambaikan tangan
sembari masuk kamar. Pandangan saya pun beralih ke kedua anak bujang saya yang sedang
asyik main PS.
"Eng ... Buat mamah aja. Aku nggak lapar," kata Noah.
Adam ikut mengangguk. Mereka semua sudah tahu kisah dramatis saya dengan masakan
Nyonya.
Baiklah! Ini semacam uji nyali untuk mencoba masakan baru yang
kali ini belum pernah saya coba sebelumnya. Saya pernah mendengar tentang miso ini.
Sejenis masakan berkuah. Mirip soto atau sup gitulah. Tapi berempah. Meski banyak
yang menjual di ruko-ruko atau tepi jalan, saya belum pernah tertarik untuk membeli
dan mencicipinya. Aroma rempahnya kuat sekali, saya kurang berselera. Demikian pula
dengan aroma miso buatan Nyonya. Dia orang Jawa, mungkin membuat miso terinspirasi
dari suaminya yang keturunan Jawa tapi lahir di Medan.
Saya menarik napas panjang dan menguatkan hati untuk menyendok
kuah miso buatan Nyonya.
"Mahhh! Masih hidup?" teriak suami saya dari dalam
kamar.
"Rasanya lumayan, kok, Pah. Nggak terlalu ekstrem. Mo nyobain,
nggak?"
"Makasih, Mah. Lidah Papah lidah bangsawan, nggak cocok
sama masakan buatan rakyat jelata!"
Sialan! Humor Si Papah kadang-kadang ngeselin. Lidah bangsawan
apaan?
Okelah ... Untuk miso kali ini saya tidak sampai muntah. Meskipun
aroma cengkeh dan kayu manisnya kelewat tajam, namun rasanya masih bisa saya telan.
Saya juga tidak bilang enak. Tidak ada pembanding yang bisa dijadikan patokan. Ada
rasa asin dan sedikit manis dari kecap sudah cukup. Tanpa rempah kayu-kayuan, mirip-mirip
soto rasanya. Sepertinya kemampuan memasak Nyonya sudah ada kemajuan.
Rupanya miso buatan Nyonya terbilang sukses. Pujian datang dari
tetangga yang tergabung dalam WAG Nyonya. Dengan berbunga-bunga Nyonya membanggakan
kemampuan memasaknya. Sebagai bukti kepiawaiannya memasak, dia mengundang tetangga
sekitar rumahnya untuk datang menikmati hidangan dalam rangka ulang tahun perkawinan
Nyonya.
Setelah basa-basi dan sedikit sambutan, kami tamu undangan pun
menyerbu meja prasmanan. Setiap keluarga, termasuk saya, datang bersama seluruh
pasukan. Meskipun agak sangsi dengan masakan Nyonya, tapi kami tidak mau ketinggalan
euphoria bisa berkumpul dengan tetangga. Hidangan no.2 yang utama silaturahmi.
Di meja prasmanan, hidangan yang tersaji sangat beraneka ragam.
Ayam kecap, ayam rica-rica, sayur sop, capcay, mie goreng, udang tepung saus asam
manis, sambal goreng kentang ati ampela dan kerupuk. Pencuci mulutnya ada aneka
buah segar dan puding coklat saus vanila.
Melihat aneka rupa hidangan, tamu-tamu agak kalap. Mereka ingin
mencoba rasa tiap masakan. Bisa dibayangkan betapa penuhnya piring masing-masing
tamu. Akibatnya, belum sampai semua tamu mengambil hidangan, piring-piring saji
sudah ada yang kosong. Ayam kecap habis, udang kosong, capcay tandas, mie goreng
tersisa beberapa lembar sawi saja. Saat Nyonya mengetahui banyak piring kosong,
dia tertawa renyah kegirangan.
"Alhamdulillah, ya, masakannya laku."
Keluarga saya pun harus berpuas hati dengan hidangan yang tersisa,
karena memang sudah tidak tersedia stok lagi di dapur. Tidak apa, yang penting silaturahminya.
Sepulangnya dari rumah Nyonya, suami saya minta dibuatkan mie
rebus.
"Lho, kan baru makan, Pah. Apa nggak meledak nanti perutnya?"
"Makan apaan? Hidangan begitu nggak ada yang bisa di makan.
Lidahku, kan ningrat."
"Tapi tadi Mamah liat, Papah ambil paha ayam rica-rica.
Yang paling besar."
"Tampilannya menggoda, rasanya jungkir balik. Papah cuma
cuil sedikit aja terus nggak dimakan. Emang mamah nggak nyicip ayam ricanya?"
"Enggak. Mamah cuma kebagian sop sama sambal kentang. Sopnya,
sih enak. Sambal kentangnya keasinan. Dan ada irisan daun jeruknya. Agak aneh menurut
Mamah."
"Udahlah. Lain kali kalau dia lagi yang masak, Papah ogah
makan. Sekarang tolong buatin Papah mie rebus. Mamah nggak masak, kan hari ini?"
Saya mengangguk. Karena dapat undangan makan, saya pun malas
masak. Ya, mana saya tahu kalau ternyata hidangannya kurang dan rasanya nggak pas.
"Aku juga mau, Mah."
"Noah juga. Tapi mie goreng. Buatan Mamah lebih enak."
Astaga! Ternyata anak-anak juga tidak puas makan di rumah Nyonya
tadi.
"Sayangnya stok mie kita habis. Jadi tunggu, ya, Mamah beli
dulu ke warung depan fasum."
Di pinggir fasum, sepulang saya membeli mie, saya melihat seseorang
sedang berjongkok sambil dikelilingi kucing-kucing yang mengeong. Dia sibuk melemparkan
sesuatu dari dalam plastik hitam. Karena gelap, saya kurang jelas melihat apa yang
dia lemparkan. Tapi saya mengenal seseorang tersebut. Dia orang yang biasa disuruh
bantu-bantu cuci piring jika ada hajatan. Termasuk di rumah Nyonya tadi, pasti dia
juga yang bantu beres-beres.
"Mbak, lagi ngapain?"
"Eh, Bu. Ini lagi ngasih makan kucing. Tadi banyak banget
sisa daging ayam di piring. Jadi saya kumpulin saja. Sayang, Bu. Heran, kenapa pada
nggak dimakan, sih ayamnya."
"Nggak tau, Mbak. Saya nggak kebagian makan ayam. Udah abis
tadi."
"Wah, ya sama kalau gitu. Saya juga nggak kebagian apa-apa,
Bu. Cuma sayur sop. Itu juga sayurannya sudah hilang. Sama puding dikit."
"Iya, laku, ya, masakannya Mak Radit."
"Bukan laku, Bu. Tapi kurang. Undangan banyak tapi masaknya
sedikit. Yang kayak gitu, kok ngakunya pernah bikin catering untuk karyawan perusahaan.
Ngitung porsi aja nggak bisa. Belum lagi rasanya. Kalau enak, pasti nggak banyak
sisa kayak gini, Bu. Coba lihat ini! Masa satu paha besar gini cuma dicuil sedikit."
Saya tersenyum memandang potongan paha ayam yang ditunjukkan
Si Mbak. Jadi teringat perkataan suami tadi. Setelah pamit sama Si Mbak, saya pun
berjalan pulang sambil merenung. Mungkin besok, ibu-ibu akan heboh membicarakan
peristiwa hari ini. Sebaiknya saya menunggu saja berita esok hari. (*)
Ya Tuhan seru banget gemes gemes gimana gitu.. HahahaHa 😂
BalasHapus