(10) - MIMPI BURUK
"Adhit."
Semua
gelap.
"Adhittt..."
Di
mana? Di mana kamu berada?
"Adhittt..."
Setitik
cahaya mulai terlihat bergerak-gerak. Seperti lampu senter di kejauhan.
Seseorang?
Apakah ada seseorang di sana?
"Adhittt!!!"
Cahaya
menjadi besar. Siluet perempuan menghalangi pandangan.
"Adhit!
Tolong! Tolong aku, Dhit!"
"Dhita?"
Tangan
perempuan itu menggapai-gapai minta tolong. Adhit mengulurkan tangan hendak
menjangkaunya. Semakin dekat. Semakin dekat! Ujung jari mereka bersentuhan.
Lalu jari-jemari itu saling mengait. Wajah yang tadinya tertutup rambut, kini
tersibak sebagian.
Siapa?
Siapa kamu?
Perempuan
itu menyingkirkan rambut ikal panjang yang menutupi wajahnya. Kini wajah itu
sempurna menatap Adhit. Matanya bulat bersinar. Senyumnya mengembang,
memperlihatkan lesung pipit di kedua pipinya.
"Adhit?"
‘Ahhhh!!;
Adhit
terbangun tiba-tiba dari tidurnya. Terduduk dengan napas tersengal-sengal.
Peluh membanjiri kening hingga menetes di pipi. Padahal AC dinyalakan pada suhu
25 derajat Celcius. Dinyalakannya lampu baca yang terletak di meja di samping
tempat tidurnya. Matanya melirik pada angka-angka jam digital yang
berkedip-kedip.
Pukul
03.00 dini hari.
Bertahun-tahun
dia tidak pernah tidur nyenyak. Selalu mimpi buruk hal yang sama. Saking
terbiasanya, setelah terbangun gara-gara mimpi buruk, dia hanya membalikkan
bantal dan melanjutkan tidur kembali. Tapi mimpi kali ini sangat berbeda. Tidak
pernah terjadi sebelumnya. Bahkan sesudah acara perpisahan 20 tahun yang lalu,
dia tidak pernah memimpikan dirinya. Adhit tidak pernah sekalipun memimpikan
Shila, meskipun teramat ingin.
Tapi
barusan, Shila datang di mimpinya. Dan reaksi Adhit sungguh keterlaluan. Dia
terkejut dan terbangun. Seharusnya dia memeluk Shila erat-erat, seperti yang
dia bayangkan selama ini. Bukan malah terkejut dan terbangun tiba-tiba.
"Apa
gara-gara reuni, ya?" Adhit berbicara sendiri sambil meraih gantungan
kunci kumal bermotif sulur-sulur yang tergeletak di meja kecil di samping
tempat tidur.
Adhit
berharap Shila datang pada saat reuni nanti. Banyak yang ingin dia bicarakan
dengannya. Tentang perpisahan mereka, alasan dan cerita-cerita, juga
surat-surat yang harus dia sampaikan. Tapi di mana Shila berada? Alamatnya saja
dia tidak tahu. Semua orang yang dia tanyai, bungkam. Mereka tidak mau
memberitahukan keberadaan Shila saat ini. Bahkan Febi hanya memiliki alamat e-mail yang sama dengan 20 tahun yang
lalu. Entah masih aktif atau tidak, karena tidak ada balasan juga tidak ada
tanda-tanda bahwa e-mail tidak
terkirim. Adhit berharap Shila membacanya dan memutuskan untuk datang.
Adhit
mengusap-usap gantungan kunci di tangannya. Permukaannya sudah kusam.
Pengaitnya juga sudah berkarat. Gantungan kunci itu bisa dibuka dan di dalamnya
ada ceruk kecil untuk meletakkan foto. Adhit memandangi foto di dalam gantungan
kunci itu. Sudah menguning dan mulai terkelupas pinggirannya. Foto Shila sedang
tersenyum mengenakan baju putih abu-abu dan menyandang tas ransel. Dia ingat
sekali kapan gantungan kunci itu dia dapatkan.
Hari
itu, SMA Harapan Bangsa dibuka untuk umum. Setiap tahun mereka rutin
menyelenggarakan bazar dalam rangka merayakan kemerdekaan RI. Setiap kelas
diwajibkan membuka stand pameran di depan kelasnya masing-masing. Menjual
beraneka macam kerajinan atau makanan dan minuman ringan. Ada juga yang
mengubah kelasnya menjadi arena permainan ketangkasan dan rumah hantu. Selama
sehari penuh, HB membebaskan muridnya dari kewajiban belajar dan membuka pintu
gerbang agar anak-anak sekolah lain bisa datang dan berkunjung.
Anak-anak
HB tidak mau kehilangan pamor di depan anak-anak sekolah lain. Acara bazar itu
dibuat semeriah dan seberkesan mungkin bagi mereka. Panggung pentas seni
menampilkan band sekolah terbaik dengan didukung sound system berkualitas. Murid-murid bersuara merdu unjuk gigi,
termasuk yang bersuara pas-pasan tapi tampang aktor sinetron. Grup teater
mempertunjukkan akting dan cerita yang terbaik. Anak-anak perempuan HB berhias
diri, berusaha memikat anak sekolah lain. Sedangkan anak-anak lelakinya pasang
tampang acuh dan sok cool supaya
dianggap keren oleh anak-anak perempuan sekolah lain.
Kelas
Adhit, kelas 3A1-1, membuka stand sederhana di depan kelas mereka. Mereka
menjual buket bunga segar yang diikat pita cantik dengan kartu nama mungil bentuk
hati. Mereka juga menjual cokelat berbentuk hati yang tersedia dalam berbagai
macam ukuran. Yang menarik, mereka juga menyediakan jasa kurir yang siap
mengantar buket-buket bunga dan cokelat kepada siapapun di lingkungan sekolah,
sesuai permintaan pembeli. Jadilah stand mereka paling ramai dikunjungi dan
menjadi favorit anak-anak perempuan yang ingin menyatakan cinta diam-diam
kepada pujaan hatinya.
Sebenernya
ide menjual buket bunga segar adalah ide Shila. Dia tergabung dalam Klub Botani
di sekolahnya dan dia sangat suka menanam bunga. Menurut Shila, dia sangat suka
menikmati tetesan hujan yang terjatuh di mahkota bunga dan ujung daun. Ah,
hujan. Adhit mendesah jika teringat hujan. Hujan berarti kesedihan. Hujan
berarti tangisan. Hujan berarti Shila.
Di
rumahnya, Shila memiliki berpuluh-puluh bunga mawar beraneka warna, bunga
pikok, anyelir, aneka bakung-bakungan, anggrek dendro, dan bunga favoritnya,
krisan. Untuk acara bazar ini, Shila sudah mempersiapkan sejak 3-4 bulan
sebelumnya sehingga bunga-bunganya siap di panen saat bazar tiba. Shila
merangkai dan mempersiapkan semua buketnya sendiri. Seluruh keuntungan
penjualan buket dia serahkan pada kas kelas. Dia hanya meminta penggantian
biaya untuk membeli perlengkapan membuat buket.
Adhit
juga ingat, saat Shila begitu kesal melihat bunga hasil rangkaiannya menggunung
di meja Adhit. Beserta cokelat dan bungkusan-bungkusan kado. Hari itu, 15
Agustus, bertepatan dengan hari ulang tahun Adhit ke-17. Sudah menjadi
kesepakatan di antara mereka berdua bahwa tidak akan ada kado untuk ulang tahun
mereka atau hari jadi mereka berpacaran. Setiap hari selalu istimewa, selama
mereka masih bersama.
Tapi
khusus hari itu, Shila tidak bisa menahan kecemburuannya dan dia memaksa
menghadiahi Adhit gantungan kunci dengan tempat foto. Dia juga menggunting foto
wajahnya dari selembar foto yang diambil oleh Febi di depan kelas mereka, saat
naik kelas 2. Adhit memandangi foto yang mengabur. Shila dengan rambut ikalnya
yang sebahu. Senyumnya mengembang, memperlihatkan dua lekukan di pipinya. Bola
matanya hitam dan besar dibingkai alis tegas dan bulu mata yang panjang.
Hidungnya runcing dan keseluruhan bagian itu terletak pada bidang oval dengan
kulit kecoklatan. Shila tidak cantik. Tapi sangat menarik dan tidak membosankan
jika dipandang. Saat dia tersenyum, bola matanya berbinar-binar seperti ribuan
lilin terperangkap di dalamnya. Mengingatkan Adhit pada bola mata seseorang.
Shila, di mana kamu
sekarang?
*****
Dia
tidak pernah membayangkan akan bertemu dengannya secepat ini. Betul kata Febi,
Cilacap kota kecil. Kapan pun dia bisa bertemu Adhit, di mana pun. Dan bertemu
di Supermarket Rita adalah hal yang menurutnya buruk. Setidaknya, Shila
membayangkan pertemuan mereka akan terjadi di sebuah kafe, tempat makan atau nanti
pada saat acara reuni. Pertemuan yang disengaja, bukan pertemuan tiba-tiba
seperti ini. Dan dari sekian banyak supermarket dan mini market, mengapa mereka
harus berbelanja di tempat yang sama dan pada waktu yang sama? Ini menyebalkan!
Dia bertekad keluar dari supermarket ini tanpa diketahui Adhit.
Tapi
..., Shila tergoda untuk mengamati Adhit yang sekarang. Dia bersembunyi di
balik rak dan memandang ke arah Adhit yang sedang memilih sayur dan buah. Adhit
tidak banyak berubah. Tubuhnya masih segagah dulu, tidak bertambah gemuk atau
berperut buncit. Kulitnya sedikit legam. Garis-garis mukanya lebih tegas dan
berwibawa. Rambutnya tetap belah tengah, dengan uban-uban yang mulai tumbuh
berkelompok di sana-sini. Dia sangat tampan dan segar mengenakan kaos polo biru
langit dan celana jins biru terang. Ah, Shila merasakan dadanya dihinggapi
jutaan semut merah yang menggigiti hatinya sedikit demi sedikit. Setelah
puluhan tahun, dia masih bisa mengenali sosok itu dengan baik. Bahkan dia bisa
merasakan kehadirannya di supermarket.
Apakah kamu juga merasakan
kehadiranku, Dhit?
Tiba-tiba
tubuh Adhit menegang. Kepalanya menoleh ke arah Shila dengan cepat. Buru-buru
Shila menyembunyikan diri di balik rak. Tapi sepertinya Adhit sempat melihat
bayangannya. Adhit berjalan ke arahnya. Shila berlari tanpa suara ke rak
satunya. Bersembunyi di balik tumpukan makanan ringan. Dari sela-sela
bungkusan, Shila bisa melihat Adhit celingukan mencari sesuatu. Atau seseorang?
Mungkin kamu juga
merasakan kehadiranku, Dhit.
Shila
memutuskan bergegas pergi meninggalkan supermarket itu diam-diam. Dia belum
siap jika harus bertemu muka dengan Adhit secepat ini. Baru dua hari dia tiba
di kota kelahirannya dan dia masih perlu waktu mempersiapkan diri. Terutama
perasaannya.
"Hallo,
Bang?"
Teleponnya
berdering saat dia tiba di pelataran parkir supermarket. Sebuah suara penuh
kerinduan di seberang menanyakan kabar.
"Adek
baik. Sehat. Anak-anak gimana? Nggak nakal, kan?" Jawaban panjang
terdengar. Shila tersenyum sesekali menanggapi dengan 'ohh', 'ya', atau
'baguslah'.
"Reuninya
besok siang, Bang. Lanjut hari berikutnya jalan-jalan ke Nusakambangan. Abang
beneran nggak apa-apa, kan Adek tinggal seminggu?"
Suara
di seberang mengisyaratkan kalau semua bisa terkendali dan Shila memang perlu
memanjakan diri sesekali. Sebuah pertanyaan terlontar dari mulut suaminya.
"Setelah
reuni Adek ke Jogja. Ke rumah Papa sama Mama. Ya, ya, mereka juga sebel kenapa
Adek kemarin nggak turun di Adisucipto. Tapi sudah Adek jelaskan kalau harga
tiketnya mahal sekali. Lebih murah turun di Bandung. Nanti pulangnya baru lewat
Jogja." Shila terdiam sesaat dan mengangguk. Lalu tersenyum getir.
"Iya,
Bang. Adek juga rindu." Telepon pun berakhir.
Shila
menatap awan putih yang berarak di langit biru. Rindu? Seperti apa sesungguhnya
bentuk kerinduan pada lelaki yang telah menikahinya sejak 11 tahun silam? Dia
menyerahkan hati dan tubuhnya pada lelaki yang kini menjadi suaminya. Tapi ada
satu ruangan terkunci di dalam hatinya yang tidak bisa dia buka dan tidak ingin
dia buka. Jika hati adalah ribuan locker
berisikan kenangan-kenangan, maka locker
terkunci itu berisikan kenangannya tentang Adhit.
Shila
pun pergi dari pelataran parkir setelah seorang bapak dengan motor matik
membunyikan klakson memberi tanda kehadirannya. Bapak tua itu dia kenal dari
pengurus penginapan dan dia telah menyetujui untuk menggunakan jasanya
mengantar Shila ke mana pun. Tanpa Shila sadari, seseorang berdiri membeku di
pintu keluar supermarket. Sedikit menghalangi jalan dan membuat beberapa
pengunjung menggerutu. Dia tetap membeku dan menatap Shila dengan penuh
kerinduan. Ribuan sayap kelelawar mengepak di dadanya.
"Kalau
mau ngelamun jangan di sini, Pak! Ngalangin jalan aja!"
Seorang
ibu bertubuh gemuk menyenggolnya cukup keras. Membuat lelaki dengan kemeja
kotak-kotak itu tersadar dan segera menyingkir dari jalan. Saat dia memandang
kembali ke pelataran parkir, Shila sudah menghilang. Satu yang bisa dipastikan,
dia akan menemui gadis itu di reuni besok siang. Kelelawar di dadanya
beterbangan, tergantikan dengan murai-murai yang bernyanyi. (*)
Komentar
Posting Komentar