(9) - KEJUTAN-KEJUTAN
(Sebulan sebelum reuni)
Wijat
menggebrak meja kerjanya. Pandangannya melirik pada jam dinding bundar yang
jarumnya berdetak terlalu riang. Sudah pukul 10 malam dan dia masih tertahan di
kantor. Punggungya rebah pada sandaran kursi. Jari-jari tangan kanannya
memijit-mijit kening, berusaha melonggarkan urat-urat yang terasa tegang di
sana. Suara sopran bosnya tadi siang, memantul-mantul kembali di dinding
kepalanya.
"Wanita
sialan!" pekiknya. Lagi-lagi menggebrak meja.
Satu
pemberat kertas menggelinding di atas meja dan terjatuh ke lantai. Pecah
berkeping-keping. Boneka salju, rumah kecil, dan serpihan-serpihan putih yang
tadinya salju berserakan di lantai. Wijat ber-ahh! panjang. Kesal bukan
kepalang.
"Kamu
bodoh, Wi! Masa iya bisa kalah tender? Kamu tahu berapa lama kita menunggu
proyek ini? Setahun, Wi! Setahun!" Suara bosnya kembali terdengar, melengking
tinggi.
"Tapi,
Bu ...,"
"Ahhh,
tidak usah tapi-tapian. Saya sudah muak dengan hasil kerja kamu selama ini!
Kamu cari tender baru yang senilai dengan tender yang hilang. Itu tugas kamu
jika masih ingin kerja di sini. Kamu pikir dari mana kantor ini bisa menghidupi
sekian ratus karyawan, hah?!"
Ini
gila! pikir Wijat. Dari mana dia bisa mendapatkan proyek senilai ratusan milyar
dalam waktu singkat? Sudah pasti ini akal-akalan Si Bos untuk menyingkirkan dia
dari kantor itu.
Dulu,
setiap kali dia berbuat kesalahan, seperti kehilangan tender atau klien, bos perempuannya
itu akan memaklumi dan memaafkannya. Posisinya di kantor tidak cukup bagus.
Hanya sebagai staf dalam bidang pemasaran. Tapi cukup aman. Dia tidak perlu
harus bersusah payah mengejar target penjualan atau memenuhi angka-angka yang
ditetapkan perusahaan. Dia hanya perlu datang ke kantor setiap hari, mengikuti
ke mana pun bosnya pergi, tersenyum manis pada setiap presentasi, dan menjabat
tangan pegawai perempuan lebih lama sambil memandanginya simpatik. Tentu saja,
hanya perempuan-perempuan dengan posisi vital di perusahaan yang akan menjalin
kerja sama dengan perusahaannya.
Itu
dulu. Sebelum bos perempuan berusia 50 tahunan, yang masih kencang dan cantik
itu, memergokinya saat berhubungan intim dengan pegawai tercantik di kantor
mereka. Parahnya, hubungan itu dilakukan di ruangan Si Bos. Pada saat jam
kantor usai dan hanya mereka berdua yang tinggal. Pada saat yang sial, karena
Si Bos harus kembali ke ruangannya untuk mengambil tabletnya yang tertinggal. Kenapa
harus dia yang kembali? pikir Wijat. Kenapa bukan supirnya saja, Pak Tanto? Ah,
mungkin memang sudah waktunya permainan cintanya ketahuan. Wijat pikir, dia
akan didepak segera dari kantor itu. Ternyata tidak. Pegawai perempuan cantik
dipaksa membuat surat pengunduran diri dan diberhentikan tanpa pesangon.
Sementara dia, dipertahankan Bu Elli hanya untuk memuaskan amarahnya.
Satu
bulan sudah berlalu sejak kejadian itu, amarah Bu Elli kepadanya belum juga
reda. Wijat juga tidak diberi kesempatan untuk mendekati dan membujuk Bu Elli.
Perempuan itu selalu memasang wajah siap tempur tiap kali Wijat mendekat.
Tatapannya dingin dan benci. Membuat Wijat gentar dan mundur perlahan. Mungkin
memang sudah waktunya dia hengkang dari kantor ini. Dia mulai tidak tahan
dengan kata-kata Bu Elli yang semakin hari semakin kasar.
Denting
bel dari arah lift terdengar samar di balik pintu masuk kantornya. Ada tiga
divisi perusahaan berkantor di lantai ini. Di jam seperti ini, orang dari
divisi desain atau divisi iklan biasanya masih ada yang bekerja karena di kejar
tenggat waktu. Wijat tahu, orang-orang dari divisinya tidak ada yang akan
lembur malam ini. Mereka sibuk berpesta di sebuah pub di Jakarta Utara.
Bunyi
stiletto berhenti di depan pintu utama kantornya. Tirai sudah diturunkan
menutupi pintu kaca yang sebagian buram. Wijat tidak bisa melihat siapa di
balik pintu itu. Dia yakin itu perempuan. Dan dia tidak berharap jika itu Bu
Elli. Harinya sudah cukup hancur dengan caci makinya siang tadi. Dia tak mau
harus bertemu muka lagi dengan perempuan dingin itu. Sudah cukup dirinya
memperoleh pandangan kasihan dan simpati dari rekan kantornya saat keluar
ruangan Bu Elli siang tadi. Bahkan Damar, sengaja menghampiri dan menepuk
pundak Wijat tanda prihatin. Sesungguhnya, Damar sedang mengejeknya karena dia
cemburu jika Wijat menjadi kesayangan Bu Elli. Wijat tahu, Damar sedang
berusaha mengambil hati Bu Elli dan dia tidak suka dengan kenyataan itu.
Gagang
pintu bergerak. Wijat semakin terpaku pada pintu itu. Pintu pun perlahan
terbuka. Tubuh Wijat mendadak menegang melihat siapa sosok di balik pintu itu.
"Kamu
belum pulang?" tanya Bu Elli dingin.
"Be-belum,
Bu."
Wijat
membetulkan posisi duduknya. Sedikit gugup.
"Ikut
saya ke ruangan. Ada yang mau saya bicarakan sama kamu." Bu Elli berjalan
ke ruangannya. Wijat terburu-buru menyusul. Dia merasa inilah akhir dari
karirnya.
"Kunci
pintunya!" perintah Bu Elli, "tirainya juga."
Wijat
menurut, walau sedikit heran. Biasanya Bu Elli menutup tirai, jika ...
"Kamu
tahu, aku sangat rindu padamu." Bu Elli tiba-tiba memeluk Wijat dari belakang.
Tepat saat tirai terakhir diturunkan.
"Tapi,
Bu ..."
"Tidak
seharusnya kamu mengkhianatiku, Wi!" Bu Elli melepaskan pelukannya.
Berjalan ke meja kerjanya dan mengambil sesuatu dari dalam tas. Bu Elli
menyalakan rokoknya.
"Aku
sakit hati melihatmu dengan perempuan itu, Wi!" Bu Elli menghisap sedikit
dan mengembuskan asapnya.
"Maaf,
saya khilaf ..."
"Tapi
aku tidak bisa melupakanmu, Wi," katanya sambil mematikan rokok yang baru
dihisap. Memandang Wijat penuh emosi.
"Bu
..., sa-saya ..."
Belum
selesai Wijat berkata-kata, bibir Bu Elli sudah melumat bibir Wijat. Tangan Bu
Elli begitu lincah melepas kancing demi kancing kemeja Wijat. Begitu juga
tangan Wijat yang telah terlatih dan terbiasa melolosi pakaian Bu Elli
berkali-kali. Di ruangan Bu Elli yang bebas CCTV, di mobil Bu Elli yang
terparkir di basement yang gelap, atau di sebuah hotel di pinggiran kota.
Bu
Elli terbaring puas di sisi Wijat. Wajahnya yang terawat terlihat bercahaya dan
bahagia. Bagi Wijat, tidak membutuhkan waktu lama untuk memuaskan perempuan
itu. Meskipun tubuhnya semuda perempuan 30 tahunan, tapi staminanya tidak
terlalu bagus untuk bercinta, walau Bu Elli rajin senam dan olahraga. Bu Elli
melirik Wijat yang sedang menatap langit-langit. Tangannya membelai pipi dan
ikal-ikal rambutnya. Wijat menoleh dan tersenyum. Secepat kilat Bu Elli bangkit
dan duduk di atas tubuh telanjang Wijat.
"Kamu
harus janji tidak boleh menyakiti hati aku lagi, Wi!"
Bibir
mungilnya mengerucut. Pandangan Wijat lebih terarah pada dadanya yang kencang.
Lengan Wijat terulur.
"Aku
janji, Sayang. Maafkan aku." Wijat memandang wajah Bu Elli yang terlihat
nikmat. Tangan Bu Elli menghentikan tangan Wijat yang bergerak-gerak di
dadanya.
"Aku
tidak tahan jika harus membiarkan dan mengacuhkanmu setiap hari, Wi. Aku ..."
Kata-kata Bu Elli terputus oleh dering telepon genggam Wijat di lantai. Wijat
meraihnya dan berbicara cepat-cepat, lalu menutup telepon. Dia memandang Bu
Elli girang.
"Kau
tahu, Sayang?" Wijat membalikkan keadaan, kini tubuhnya yang menindih
tubuh Bu Elli.
"Mungkin
aku punya cara untuk mendapatkan tender kita kembali."
"Bagaimana
caranya? Pemenang tender itu salah satu perusahaan konstruksi terbesar di
Indonesia, Wi! Aku bisa maklum kalau kita kalah. Kemarin aku kesal gara-gara
kamu dan perempuan itu."
"Setidaknya
bisa kita usahakan mendapat sedikit bagian. Semacam sub kontraknya
mungkin?" Wijat memandang penuh arti pada Bu Elli.
"Apa
rencanamu?"
Wijat
menunduk dan berbisik di telinga Bu Elli. "Puaskan aku dulu."
*****
Sebagai
pejantan metropolis yang kekinian, dia harus selalu tampil rapi, klimis dan
wangi. Mengikuti trend busana terbaru, potongan rambut yang sedang hits dan
juga menjadi anggota di beberapa tempat dugem. Salah satunya yang berada di
kawasan Ancol. Tidak sedikit biaya yang dia keluarkan demi memperoleh kartu
member di tempat tersebut. Tapi hasilnya, tidak pernah mengecewakan. Dia selalu
mendapat teman kencan terbaik di tempat itu. Baik untuk kencan satu malam atau
kontrak berbulan-bulan. Semua itu dia lakukan tanpa sepengetahuan Bu Elli.
Bagaimanapun juga, perempuan atasannya itulah yang selama ini membiayai hidup
mewahnya. Sedangkan perempuan-perempuan lainnya, yang hanya singgah sesaat, dia
anggap sebagai camilan. Mengisi rasa bosan yang kerap menghampiri sepanjang
hubungannya dengan Bu Elli.
Selera
Wijat soal perempuan masih normal. Dia masih suka dengan perempuan yang jauh
lebih muda, segar, dan penuh energi. Tidak khawatir kehabisan napas ketika
sedang menanjak bersamanya. Tapi dia harus lebih berhati-hati sekarang. Jangan
sampai permainannya membuat Bu Elli tersinggung atau dia harus hidup menggembel
lagi. Wijat begidik membayangkannya. Dia tidak berniat menjalin hubungan penuh
cinta dan menghabiskan hidup dengan satu perempuan. Tapi Wijat sadar Bu Elli
semakin tua dan sewaktu-waktu hubungan mereka bisa ketahuan suaminya. Dia harus
mempersiapkan pesangon untuknya dan mencari perempuan kesepian lain yang mau
meminangnya menjadi simpanan.
"Oi,
Mike! Dateng juga, lu? Kirain masih asyik ngegarap nenek tua itu!" Seseorang
menepuk bahunya dan berbicara setengah teriak di telinganya. Suara musik yang
berdentum mengalahkan suara apa pun di ruangan itu. Di tempat seperti ini, nama
kampungnya berubah menjadi Mike. Terdengar lebih cocok dengan keadaannya
sekarang.
Teman
yang tadi meneleponnya, mengajak menepi. Mencari sudut yang sedikit lebih
tenang untuk berbicara.
"Lu
liat cewek berbaju biru berkilat itu?" tunjuknya pada sesosok tubuh yang
asyik meliuk melantai.
Cahaya
ruangan yang minim membuat mata Wijat tidak terlalu jelas menangkap sosoknya.
"Gimana
ceritanya?"
"Suaminya
bule. Konsultan asing di mega proyek yang lu incer. Yang lu kalah tender kemarin!"
Wijat manggut-manggut.
"Untungnya
buat gue apa?"
"Dia
tajir, Bro! Dan dia kesepian, sering ditinggal suaminya ke luar negeri!"
"Kenapa
nggak lu makan aja sendiri?"
"Gue
gagal! Hahaha!"
Wijat
mengelus-elus dagunya dan mengamati sosok bertubuh sintal itu lekat-lekat.
Temannya saja sudah gagal, apa mungkin dia bisa berhasil? Wijat beradu pandang
dengan temannya yang mengisyaratkan agar Wijat mendekatkan telinganya.
"Dari
informasi yang gue dapet, dia pernah satu SMA sama elu. Mungkin lu masih
inget?"
Tiba-tiba
Wijat teringat e-mail yang telah dia
hapus. Undangan reuni sekolahnya dulu. Dia menjadi sangat kesal. Undangan sepele
yang tidak ingin dia hadiri kini terlihat seperti undangan emas baginya untuk
menghadiri premier film box office.
Tapi dia harus yakin bahwa perempuan yang sedang melantai itu memang benar
teman SMA-nya dulu.
"Siapa
namanya?"
"Namanya
sekarang Hastuti Wennemer! Nama gadisnya Hastuti Kusuma!"
Wijat
terkesiap. Hanya ada satu Hastuti Kusuma di sekolahnya. Dan dia tidak yakin itu
adalah perempuan yang sama dengan perempuan berbaju biru berkilat di lantai
dansa. Wijat memandang tak percaya pada temannya. (*)
Komentar
Posting Komentar