(11) - LOCKERS KENANGAN






Seperti apakah hati perempuan itu seharusnya? Yang jelas tidak seputih kertas polos atau sesederhana gaun terusan tanpa lengan. Hati perempuan ibarat labirin dengan kotak-kotak tertutup yang bertumpuk di dalamnya. Jalan di tiap labirin seperti benang kusut yang susah terurai. Setiap kotak pada ruangan hati ibarat sebuah locker penuh barang. Ada yang tersusun rapi, ada yang berserak. Setiap locker menyimpan cerita. Setiap locker menyimpan kenangan-kenangan atau rahasia-rahasia.
Febi memegangi keningnya yang mengernyit. Tangan kanannya mencoret-coret selembar kertas bertuliskan angka-angka. Neraca ini seharusnya seimbang, muridnya membuat kesalahan dalam pengisian angka sehingga jumlah sisi kiri dan sisi kanan tidak sama.
"Masih lama, Bu?" Rekan seprofesinya, Bu Mutia, menegurnya. Febi tersenyum sekilas dan mengangguk. Dia kembali menekuni tumpukan kertas dan angka-angka.
Dari ujung matanya dia melihat Bu Mutia membereskan mejanya dan memasukkan barang-barang pribadi ke dalam tas. Ini sudah waktunya jam pulang.
"Saya duluan, ya, Bu." Bu Mutia berpamitan padanya dan meninggalkan Febi sendirian di ruang guru.
Febi meletakkan pena dan memandangi jam di dinding. Sudah pukul empat sore. Febi tergoda untuk pulang dan segera berbaring meluruskan kaki dan melemaskan otot punggung. Tapi dia tak ingin membawa koreksian anak didiknya ke rumah. Pekerjaannya harus berakhir di sekolah dan rumah adalah tempatnya beristirahat. Jika dia membawa pekerjaan ke rumah, sama artinya dia telah diperbudak oleh pekerjaan. Tak ada waktu untuk kehidupan pribadi, tak ada waktu untuk memikirkan dirinya yang masih lajang. Ibunya sudah sering mendesak agar dia segera mencari suami. Tapi hatinya, pikirannya, tak pernah bisa menjalin hubungan dengan pria lain. Dia masih mengharapkan pujaan hatinya, Ervan.
Dengungan kecil dari dalam tas menarik perhatiannya. Febi menarik Zenfone-nya dari dalam tas.
"Halo, Dhit. Iya, aku masih di sekolah." Febi menumpuk kertas-kertas ulangan anak didiknya.
"Persiapan udah oke, Dhit. Sound system sudah terpasang. Kursi-kursi juga sudah disusun. Kamu mau lihat? Oke, aku tunggu sebelum jam lima, ya." Febi menutup telepon dan bergegas melanjutkan mengoreksi.
Jam lima lebih, Febi keluar dari kubikel dan berjalan dengan sedikit tergesa menuju aula sekolah yang terletak di bagian belakang gedung SMA Harapan Bangsa. Menyusuri deretan kelas 3 Fisika yang kini telah berubah menjadi kelas XII IPA. Dibanding 20 tahun lalu, SMA Harapan Bangsa terlihat lebih hijau dan lebih segar. Pohon-pohon perindang jauh lebih besar dan rimbun dibanding dulu. Membuat suasana di depan kelas menjadi lebih teduh dan udara tidak terlalu panas.
Febi memperhatikan gedung aula yang terletak di belakang sekolah. Dulu, sebelum aula dibangun, disitu ada lapangan basket dan lapangan bulu tangkis. Dia sering mengamati Ervan yang berlarian menggiring bola, mengoper dan juga mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi agar bisa memasukkan bola ke dalam keranjang. Ada rasa bahagia bila melihat Ervan berkeringat di lapangan. Dia seperti kuda Sumbawa yang berlarian bebas di padang sabana.
"Hai!" Seseorang menepuk pundak Febi. Dia melihat Adhit tersenyum padanya.
"Ingat masa lalu?"
"Sedikit. Kamu juga, kan?"
Adhit terkekeh.
"Selalu. Rasanya baru kemarin melihat dia terjatuh di lapangan lalu memapahnya ke UKS."
"Kamu ..., rindu dia, ya, Dhit?" Febi menatap mata yang selalu redup di hadapannya.
"Setiap saat. Setiap saat, Feb." Adhit memandang Febi lekat-lekat.
"Kamu tidak sedang berusaha menyembunyikan sesuatu dariku, kan, Feb?"
"Maksudmu?" Febi memandang Adhit tak mengerti.
"Ada kabar apa dari Shila?" tanya Adhit menyelidik. Febi menunduk.
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa tentang itu, Dhit."
"Ya, sudahlah. Aku juga tidak suka mendesak. Salahku juga dulu yang memintanya menjauh dariku. Dia ..., dia pasti sangat terluka."
Adhit menatap bangunan aula di hadapannya. Beberapa pekerja masih terlihat sibuk mengatur meja dan kursi. Juga mengangkat pot-pot besar untuk diletakkan di depan panggung.
"Oh, ya, rasanya aku melihat Ervan di depan Supermarket Rita kemarin. Sayang aku tidak sempat menyapanya. Beberapa teman sekelas kita juga sudah datang. Kemarin kita berkumpul di Sido Roso."
"Kok, aku nggak diajak?"
"Men only, Feb. Maaf." Adhit tertawa ringan dan mengajak Febi masuk ke aula untuk melihat sejauh mana persiapan untuk acara besok.
Sebagai mantan ketua OSIS, tidak ada yang meragukan kemampuan Adhit dalam memimpin. Termasuk memimpin panitia reuni 20 tahun angkatannya. Apalagi setelah menyelesaikan kuliahnya di Teknik Industri UGM, Adhit lebih memilih mendirikan perusahaan sendiri dari pada bekerja pada perusahaan-perusahaan bonafit. Dengan dibantu orangtua Donna, istrinya, dan juga pinjaman finansial dari ayahnya, Adhit merintis usaha dari skala kecil, CV. Dia mulai dengan proyek-proyek bernilai kecil dan juga menjadi salah satu kontraktor perusahaan BUMN di Cilacap. Berkat kerja keras dan kepandaiannya, kini usaha Adhit sudah merambah ke bidang property. Dia membeli sejumlah lahan di kawasan yang menurutnya potensial dan membangun unit-unit rumah menengah ke atas. Adhit juga memiliki beberapa usaha ritel, penginapan dan outshourching.
Febi memandangi sosok Adhit yang sedang bercakap-cakap dengan salah seolah pekerja di aula serba guna Harapan Bangsa. Dia mengarahkan kamera smartphonenya dan mengambil beberapa gambar yang memperlihatkan sosok Adhit dengan jelas. Dia mengirimkan foto-foto itu pada seseorang dan menuliskan beberapa kata.
‘Dia masih tetap ganteng, kan?’
Pesannya terbalas cepat disertai emo menangis.
‘Ya. Aku sempat melihatnya di Rita kemarin.’
Febi tersenyum membacanya. Shila telah mengunci kenangan tentang Adhit dalam salah satu locker di ruang hatinya, 20 tahun silam. Selama itu, dia bersumpah tak akan pernah membukanya. Shila juga berpesan agar Febi tidak pernah bercerita tentang Adhit jika tidak dia tanya. Dia juga minta agar tidak menceritakan tentang dirinya kepada Adhit. Dan meskipun ingin mulutnya berkata-kata, Febi tetap menjaga kepercayaan Shila kepadanya.
Adhit sering bertanya kabar tentang Shila, Febi selalu menjawab tidak tahu. Dia memang tidak tahu. Shila hanya meninggalkan alamat surel untuk dihubungi. Keluarga Shila pun bungkam ketika ditanya tentang kabar sahabatnya itu. Bahkan ketika Shila menikah, Febi hampir tidak bisa menemui Shila. Shila datang tiga hari menjelang ijab kabul dan segera meninggalkan keluarganya dua hari setelah resepsi selesai digelar. Hanya dia teman Shila yang datang. Adhit tahu tentang pernikahan Shila tapi dia menolak datang.
"Semua sudah terlambat," katanya waktu itu. Dan dia benar, semua sudah terlambat.
Seandainya Shila tidak mengunci lockernya begitu rapat, kesempatan mereka untuk bersama lagi begitu besar. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan takdir-takdir yang telah ditulis. Dan sepertinya, tidak ada tertulis kata 'menikah' dalam takdir mereka. Seperti halnya tidak ada tertulis kata 'menikah' dalam takdirnya.
"Mengapa kamu belum menikah, Feb?" tanya Shila sewaktu dia mengantarnya kembali ke penginapan, setelah janji makan malam mereka.
Febi terdiam mendengar pertanyaan yang selalu terlontar dari setiap orang yang bertemu dengannya. Ya, mengapa dia belum menikah juga sampai umurnya hampir kepala empat? Bukan karena tidak ada calon. Tidak. Febi bukan perempuan jelek atau tidak sedap dipandang. Tubuhnya langsing, tinggi, kulitnya putih dan rambut lurus yang halus memahkotai kepalanya. Jika bukan karena matanya yang lebar, dia pasti mirip orang Cina.
Dia pernah berpacaran serius beberapa kali dan pernah hampir menikah satu kali. Tapi gagal. Semua hubungan itu kandas, karena hatinya yang begitu teguh menyimpan satu nama yang dia percaya sebagai cinta sejatinya. Dia percaya suatu hari nanti, takdir akan berbaik hati padanya dan mengizinkannya berbahagia dengan lelaki cinta sejatinya.
"Siapa dia, Feb?" Shila melanjutkan pertanyaannya ketika dilihatnya Febi tidak menjawab pertanyaannya yang pertama.
"Maksudmu?"
"Aku tahu dirimu. Kamu itu seseorang yang sangat teguh pendirian dan begitu fokus pada tujuanmu. Kamu seorang pejuang yang tidak gampang menyerah. Kamu ingat cerita kita tentang locker-locker di ruang hati?" Febi mengangguk.
"Aku menyimpan Adhit di salah satu locker itu dan menyimpannya baik-baik saat aku menikah. Menguncinya rapat-rapat dan mencoba melanjutkan hidup dengan harapan tidak pernah membuka locker itu lagi. Tapi locker itu ada di sana, Feb. Mengganjal dan teronggok diam. Ya, locker itu diam, tapi sangat mengganggu. Aku pernah meminta agar kamu membantuku membuat locker itu tetap mengunci."
Shila memandang Febi yang masih tetap lurus memandang ke depan. Ke arah jalanan yang terlihat lengang. Tangannya terlihat kaku memegang kemudi.
"Aku salah. Locker itu tak bisa selamanya terkunci. Karena itu membuat hatiku terasa berat. Kamu pasti tahu mengapa akhirnya aku datang lagi ke sini setelah puluhan tahun? Aku ingin mengosongkan locker itu, Feb."
Mereka berdua terdiam untuk waktu yang cukup lama, hingga mobil yang dikendarai Febi berhenti di parkiran penginapan. Mereka berdua masih membisu memandangi deretan paviliun-paviliun yang sebagian terlihat gelap. Ini bukan musim liburan sekolah, hanya beberapa paviliun saja yang terisi. Gemericik air mancur penginapan terdengar sayup-sayup di keheningan malam.
"Namanya Ervan." Suara Febi memecah keheningan.
Shila menatap riak muka Febi yang terlihat datar. Memandangi paviliun bertuliskan nomor 12 seolah menanti penghuninya keluar dan menyapa mereka.
"Lelaki itu. Lelaki yang aku nanti puluhan tahun, lelaki yang aku simpan di salah satu lockerku, namanya Ervan. Teman satu sekolah kita. Kamu ingat?"
Febi balas memandang Shila yang menatapnya dengan ekspresi yang susah dicerna. Antara heran, tidak percaya, kecewa mungkin juga kesal.
"Ervan anak basket?" tanya Shila akhirnya. Febi mengangguk.
“Ervan anak basket.”
"Kok, bisa?"
Akhirnya. Pertanyaan tidak percaya itu muncul juga.
"Memangnya kenapa?" tanya Febi, pura-pura heran. Padahal dia tahu apa yang dipikirkan Shila.
"Yaaa ..., tahu sendirilah Ervan. Sok playboy dan sok beken. Buatku dia cukup menyebalkan. Gimana ceritanya? Kalian sempat pacaran?" Shila menuntut jawaban dari Febi.
"Dia tidak seperti perkiraan kita, Shil. Dan tidak pernah ada pernyataan resmi kalau kami pacaran. Tapi kami sangat dekat."
Febi pun menceritakan segalanya tentang Ervan. Hubungan diam-diam mereka. Kunjungan-kunjungan malam minggunya. Telepon-telepon mesra saat mereka berjauhan. Email-email kerinduan dan puisi-puisi cinta yang mengharukan.
"Tapi Ervan pernah pacaran sama adek kelas, kan? Seingatku waktu kita kelas tiga. Sempat heboh karena ternyata Nunu juga mengincar adek kelas itu. Ahh, aku lupa siapa namanya. Kayaknya tinggal satu komplek denganku, deh."
Shila terlihat berpikir keras, mencoba mengingat nama adik kelas pacarnya Ervan.
"Ningsih," kata Febi pendek.
"Ah, ya! Itu. Ningsih!"
"Itu cuma pengalihan, Feb. Ervan tidak sungguhan suka sama dia."
"Dan waktu dia pacaran sama Ningsih, dia masih ngapelin kamu?"
"Untuk sementara tidak. Ervan bilang, teman-teman mulai mencium hubungan kita. Makanya Ervan jadian sama Ningsih."
"Kamu tidak merasa aneh? Dia terang-terangan pacaran sama Ningsih, tapi sembunyi-sembunyi tentang hubungannya sama kamu?"
"Dia berusaha melindungiku, Shil. Menjaga perasaanku!"
"Menjaga dari apa? Kamu yakin nggak sedang dimanfaatin sama dia?"
Febi menggeleng. Menatap aneh pada Shila.
"Tidak semua orang suka dengan hubungan terang-terangan seperti hubunganmu dengan Adhit."
Suara Febi begitu dingin menusuk saat mengatakannya. Membuat Shila sedikit terkesiap.
"Bu-bukan begitu maksudku, Feb. Maaf." Shila membuang pandang dari Febi. Hubungannya dengan Adhit, memang menjadi konsumsi warga sekolah. Semua anak selalu ingin tahu segala sesuatu tentang mereka. Tepatnya, kapan mereka putus.

"Serius banget ngelamunnya."
Suara Adhit membawa Febi kembali pada kenyataan. Dia tersenyum samar.
"Dhit! Seandainya ...," Febi menggantung kalimatnya. Mempelajari air muka Adhit yang kini menatapnya.
"Seandainya Shila datang, apa yang akan kamu lakukan?"
Febi melihat Adhit menahan napas. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEN IN THE LOCKERS

AWALNYA

(16) - SERANGAN AWAL