(15 ) - BERMAIN API
Pantai
Teluk Penyu masih sama seperti dulu. Pasirnya yang keras dan hitam, anginnya
yang kencang, juga ombak yang bergulung-gulung menakutkan. Deira memandang satu
titik di cakrawala, kapal tanker yang telah selesai menurunkan muatannya di
area 70 telah pergi. Mengarungi ganasnya lautan untuk menemukan
pelabuhan-pelabuhan baru tempatnya mengangkut dan menurunkan muatan.
Begitu
pula dengan perasaannya. Sebentar lagi pelabuhannya di sisi Banyu akan
berakhir. Deira harus kembali pada kenyataan, bersama suaminya yang semakin tua
dan sakit-sakitan. Bertualang dari dekapan pria satu ke pria lainnya untuk
menemukan kepuasan yang tidak dia peroleh dari suaminya.
“Kenapa,
Bee?” tanyanya sekali lagi. Pertanyaan yang sama untuk ke sekian kali. Jawaban
berbeda tiap kali ditanyakan. Entah apa jawaban Banyu sekarang.
“Sudahlah,
Dee. Itu sudah berlalu, nggak perlu lagi diungkit. Seharusnya kita jalani saja
yang sekarang. Kita sudah cukup bersenang-senang selama beberapa hari ini. Dan
itu sudah cukup.”
“Cukup
katamu? Kamu bisa kembali kepada istrimu yang muda dan cantik itu, sedang aku?
Kenapa, Bee? Apa bagusnya perempuan yang kamu nikahi sekarang dibanding aku?
Sehingga kamu rela menukar keyakinanmu, padahal dulu kamu mati-matian
mempertahankannya saat bersamaku.”
“Entahlah.
Mungkin karena aku lelah. Mungkin juga memang sudah takdirnya begitu.”
“Hhh
... Takdir.” Deira tersenyum sinis.
“Aku
tidak ingin hubungan kita berakhir sampai di sini saja, Bee! Aku mau lanjut!”
katanya tajam. Matanya menusuk tajam ke bola mata Banyu.
“I-itu
tidak mungkin, Dee. Bagaimana kalau istriku tahu? Aku tidak mau menghancurkan
pernikahanku! Tidak.”
“Kalau
begitu kamu lebih suka melihat aku bercinta dalam dekapan pria-pria berbeda,
begitu?”
Membayangkan
Deira mendesah dan terengah di pelukan pria lain, membuat darah Banyu memanas.
Dia menikmati setiap kebersamaannya bersama Deira. Sangat menikmati. Sesuatu
yang tidak dia temukan saat bersama istrinya. Hasrat yang meluap, gairah yang tak
pernah habis, keliaran yang tak terbayangkan, dan Deira suka sekali mencoba
hal-hal baru yang hanya bisa diimpikan Banyu saat bersama istrinya. Deira
adalah kuda liar yang bebas, sedang istrinya kuda peliharaan yang penurut. Tapi
Banyu mencintai istrinya.
“Kamu
tidak seharusnya memberiku pilihan itu, Dee.”
“Kenapa?
Apa kamu tidak menikmati setiap detik yang kita habiskan?” tanya Deira sinis.
Matanya memicing. Banyu terjebak. Bohong, jika dia bilang, tidak. Dan
sesungguhnya, Banyu ingin mengulang malam-malam itu berkali-kali.
Membayangkannya saja sudah membuat Banyu bergairah.
“Kita
pikirkan lagi nanti. Sekarang kita pulang, yuk! Sudah makin sore, udara makin
dingin.”
“Pulang
ke mana?”
Ya,
pulang ke mana? Selama ini mereka berdua berhasil membohongi keluarga mereka
dan bilang menginap beramai-ramai bersama teman-teman sampai acara reuni usai.
Kenyataannya, mereka menyewa kamar di
hotel yang berbeda tiap malam. Dan hari ini reuni sudah berakhir, mereka tidak
mungkin lagi berbohong. Banyu melirik bangku belakang mobil. Tangannya meraih
kepala Deira dan merenggutnya penuh napsu. Untuk saat ini, mereka bisa
melakukannya di sini. Banyu mengeraskan volume radio dan menurunkan suhu pendingin
mobil.
*****
Ini
makan malam terindah yang pernah mereka lakukan, pikir Febi. Sebenarnya, ini
makan malam pertama yang dilakukan terang-terangan dan tidak sembunyi-sembunyi.
Febi tidak bisa menikmati menu makanan laut yang tersaji. Hatinya terlalu
gembira untuk merasa lapar. Mereka bercerita banyak hal. Tentang kehidupan
pernikahan Ervan yang katanya tidak bahagia, juga tentang pengalaman-pengalaman
Febi saat bekerja dulu. Febi belum ingin menyinggung tentang penantiannya
terhadap Ervan. Makan malam ini adalah awal yang baik bagi hubungan mereka
selanjutnya. Lagi pula, tidak ada lagi yang menghalangi mereka berdua saat ini.
“Aku
dengar, kamu sempat mau menikah, tapi gagal, ya, Feb?” tanya Ervan saat mereka
sedang menikmati hidangan penutup yang manis.
Febi
sedikit terkejut dengan pertanyaan Ervan.
“Bagaimana
kamu tahu?”
“Banyak
rumor bertebaran di whatsapp. Bukan
berarti kami saling bergosip, ya. Tidak. Yah, kamu tahulah, lama tidak bertemu,
kita akan menanyakan kabar si anu, bagaimana dia, dan semuanya meluncur begitu
saja.” Ervan menghentikan kegiatannya menyendoki puding buah yang disiram
cokelat leleh. “Mengapa kamu gagal menikah, Feb?”
Febi
sedikit gugup menjawab pertanyaan Ervan. Saat Ervan tiba-tiba menghilang dan tak
bisa dihubungi lagi, hatinya begitu hancur. Dia pikir inilah akhir dari
penantiannya. Orang tuanya terus menerus mendesak agar dia segera menikah.
Apalagi dia hanya anak satu-satunya dan tidak ada lagi yang diharapkan dari
orang tuanya. Mama ingin cepat-cepat punya cucu, Feb, begitu kata Mama.
Sedangkan Papa bilang, garis keturunannya harus terus berlanjut, jangan sampai
terputus. Febi benar-benar tersudut saat itu.
Ketika
Mama menyodorkan sebuah nama, dia hanya mengiyakan saja. Pikirnya, hanya berkenalan,
belum tentu sampai ke pelaminan. Apalagi Mama dan Papa sudah mengultimatum dia,
jika suaminya kelak, haruslah berasal dari suku yang sama. Kata Papa, untuk
meneruskan garis keturunan yang murni. Mama juga tidak ingin Febi bersuamikan
orang seberang. Kata Mama, mereka keras, berbeda adat dan budaya. Mungkin semua
bisa dilewati saat masih pacaran, tapi begitu menikah, saat tanggung jawab
Papa-Mama sudah teralihkan, Febi akan sendirian menghadapi satu per satu watak
asli yang disembunyikan saat pacaran.
Usahanya
untuk meyakinkan Papa dan Mama bahwa Ervan berbeda, tidak membuahkan hasil.
Mereka tetap berpegang teguh pada pendirian mereka dan memaksa Febi untuk
melupakan Ervan. Tepat pada saat itu juga, Ervan tak berkabar. Hilang begitu
saja. Kedua orang tuannya pindah ke Bekasi dan dia tidak tahu harus bertanya
pada siapa alamat mereka di sana. Seandainya alamat dia peroleh pun, Papa dan Mama
tidak akan mengizinkan Febi untuk mencari Ervan.
“Ora ilok anak wedok ngejar-ngejar laki-laki, Nduk.”
Begitu kata Mama. Jadi Febi hanya menurut saat calon suami yang ditawarkan
Papa-Mama datang ke rumah mereka.
“Aku
sendiri tidak tahu, Van. Saat semua terlihat sempurna. Lamaran, tanggal
pernikahan, menentukan list undangan,
katering, baju, pelaminan, dan lainnya, aku justru merasa ada yang salah. Aku
hanya berpikir, apa aku bisa menghabiskan hidupku dengan orang yang tidak
kukenal sama sekali? Orang asing yang mungkin saja tidak bisa menerima aku
nantinya. Aku tidak mau seperti membeli kucing dalam karung.”
“Papa-Mamamu
pasti kecewa banget, ya?”
“Papa
sampai kena stroke ringan. Dan Mama …, Mama orang yang kuat. Aku tahu dia
sedih, tapi aku tetap anaknya, kan?” Febi tersenyum sedih sambil mengaduk-aduk
puding yang kini sudah berkecai tanpa bentuk.
“Aku
turut prihatin, ya.” Ervan mengusap punggung tangan Febi. Lagi-lagi selaput
tipis kaca-kaca muncul di bola matanya.
“Terima
kasih, Van. Setidaknya sekarang aku merasa pilihanku tepat. Karena kamu sendiri
yang tadi bilang, kan? Pernikahan karena dijodohkan itu tidak bahagia.
Sepertimu.”
Ervan
menunduk. Teringat pada pernikahannya yang hancur. Seharusnya mereka, dia dan
istrinya, bisa memperbaiki pernikahan itu. Setelah Ervan bersikap lebih tegas,
istrinya menjadi lebih mudah diatur dan penurut. Tadinya Ervan berencana
memberi kejutan kecil dan mengajak istri dan anak-anaknya berlibur ke Bandung.
Tapi pesan di ponsel istrinya yang tanpa sengaja dia baca, membuat harga
dirinya sebagai suami teriris-iris. Dia baru tahu jika selama ini, istrinya
berkhianat di belakangnya. Bahkan dia mulai meragukan jika anak-anak mereka
adalah anak kandungnya. Dia curiga, kemungkinan satu atau semua anak mereka
adalah anak dari laki-laki teman selingkuh istrinya.
“Seandainya
orang tuamu tidak rasis, mungkin kita bisa bahagia, ya, Feb?”
Febi
sedikit menahan napas. Sebenarnya dia menunggu saat-saat ini sejak lama. Ervan
tidak pernah mengungkapkan keinginannya untuk menikahi Febi. Dia merasa Ervan
cukup tahu dengan permasalahan yang mereka hadapi tanpa harus dikatakan.
“Kita
masih bisa bahagia, Van.”
Ervan
mengangkat wajahnya dan memandang Febi. Ada kegelisahan di sana. Tapi Febi
memandangnya, menguatkan.
“Mamamu
pasti tidak mengizinkan.” Ervan tersenyum sinis. Dia tidak sungguh-sungguh
ingin menikahi Febi.
“Kenapa
tidak kita coba, Van? Setelah urusan perceraianmu beres, kita bisa bilang
Mama.”
“Aku
tidak ingin terburu-buru. Aku butuh waktu untuk memikirkan kembali hidupku,
Feb.”
“Ya,
aku mengerti. Aku bisa menunggu, Van.” Febi memandang Ervan dan tersenyum tulus
dan bahagia.
Sebuah
nada halus terdengar dari tas tangan Febi. Dengan cekatan di raihnya ponselnya
dari dalam tas. Keningnya berkerut sesaat.
“Ada
masalah?”
“Adhit
minta daftar teman-teman yang mau ikut tur ke Nusakambangan besok. Dia ingin
tahu siapa-siapa saja yang sudah mendaftar. Untuk memastikan kendaraannya.”
“Di
mana dia sekarang? Ini sudah malam, sebaiknya suruh saja dia yang datang
mengambil daftarnya atau kamu fotokan saja daftar itu. Kirim melalui WA.”
“Sepertinya
dia sedang bersama Shila sekarang. Idemu boleh juga, Van. Aku foto saja.”
“Eh,
tapi cahaya di ruangan ini tidak maksimal, Feb. Mungkin sebaiknya kita antarkan
saja, kan ada aku yang nemenin kamu,” kata Ervan lembut sambil tersenyum. Hati
Febi berbunga-bunga mendengarnya. Dia tidak tahu, jika sebenarnya Ervan hanya
ingin bertemu Shila. Sejak acara reuni di aula, dia belum bertegur sapa sedikit
pun dengan Shila.
*****
Ervan
memarkir mobil Febi di halaman penginapan. Dari balik kaca mobil yang gelap,
dia bisa memandang ke arah paviliun tempat Adhit dan Shila berada. Mereka
terlihat intim sekali. Saling memandang lama dan tangan mereka selalu saling
menggenggam. Kehadiran dia dan Febi sedikit mengejutkan Adhit dan Shila.
Genggaman mereka terlepas begitu saja. Adhit berdiri menyalami Ervan, disusul
Shila. Ervan merasa pandangan perempuan itu kurang bersahabat. Mungkin dia
tidak senang melihat dia datang dengan Febi.
“Aku
nggak nyangka kalau kamu lagi jalan sama Ervan. Sorry, ya udah ganggu acara
kalian. Padahal kamu tinggal bilang aja ada di mana, Feb. Biar nanti aku jemput
daftarnya.”
“Nggak
apa-apa, Dhit. Kebetulan juga aku mau pulang ke hotel, jadi sekalian jalan.”
Ervan mencuri pandang kepada Shila.
Perempuan
itu masih sangat menarik. Sama cantiknya seperti saat pertama kali dia
melihatnya dulu. Sayangnya Shila seperti menjaga jarak dengannya. Tidak apa,
yang penting kini dia tahu Shila menginap di mana. Kapan-kapan dia akan
mendatangi Shila seorang diri. Tidak mungkin, kan Adhit bersamanya
terus-menerus?
“Udah
malem, kami pamit dulu, ya, Dhit, Shil.” Febi tiba-tiba mencium pipi Shila dan
berpamitan.
Sial!
Kenapa harus buru-buru?
“Sampai
ketemu besok, ya, Shil. Kamu pergi bareng Adhit, kan?” Shila mengangguk.
“Aku
juga pulang, deh. Met istirahat, ya, Cil.” Adhit menggenggam tangan Shila
erat-erat dan memandanginya cukup lama.
Giliranku,
pikir Ervan. Dia tidak mau melepaskan kesempatan menggenggam tangan Shila. Tapi
Shila berusaha menarik tangannya cepat-cepat saat mereka bersentuhan. Ervan
menahannya. Shila mencoba melepaskan diri dari genggaman Ervan. Tapi tenaganya
terlalu kuat hingga Shila melotot padanya karena jari-jarinya sakit.
“Sampai
ketemu besok ya, Shil.” Ervan tersenyum manis. Meremas tangan Shila sekali lagi
dan melepaskannya. Shila menatapnya dingin, mengelus punggung tangannya yang
nyeri. Adhit memandang heran pada mereka berdua.
“Jangan
lupa jemput aku, ya, Dhit.” Shila mencoba mengalihkan perhatian Adhit dan
melambai pada Febi yang sudah tiba di pintu mobil.
Ervan
mengempaskan tubuhnya di balik kemudi. Hatinya sedikit senang karena berhasil
menggenggam tangan Shila. Dia tahu, kesempatannya untuk mendapatkan Shila
sangat tidak mungkin. Seandainya dia bisa merusak rumah tangga Shila pun, pasti
perempuan itu akan lebih memilih Adhit sebagai pasangannya. Kecuali, kecuali
jika Adhit tidak ada. Maksudnya, tidak ada selamanya di muka bumi. Ervan
tersenyum memikirkan kemungkinan itu.
“Kenapa
senyum-senyum sendiri, Van?” tanya Febi. Dia lupa jika masih ada Febi yang
harus dia bereskan.
“Aku
sangat senang dengan malam ini, Feb. Dan tidak ingin malam ini cepat-cepat
berakhir. Apakah tidak apa-apa kalau kamu tinggal sebentar di kamar hotelku?”
Ervan melihat perubahan di wajah Febi.
Perempuan
naif!, pikirnya. (*)
Komentar
Posting Komentar