(2) - AWAL SEGALANYA
Ia meluruskan kaki-kakinya yang
kaku di atas kasur. Perlahan, tubuhnya direbahkan di atas seprai putih yang
halus dan harum. Ia membuka kakinya sedikit, membiarkan udara segar mengalir
pada selangkangannya yang berkeringat. Kedua tangannya direntangkan, seperti
permainan pesawat terbang saat sekolah dulu. Rasa lelah setelah 7 jam
perjalanan dengan travel berangsur
lenyap. Tubuhnya lebih nyaman sekarang.
Diraihnya tas tangan yang
tergeletak di sisinya. Tanpa melihat, ia mencari sesuatu dalam tas kulit berwarna
cokelat itu. Label Charles & Keith terpasang mungil pada salah satu
sisinya. Ia menarik ponsel dari dalam tas dan memandangnya.
Ah, sudah jam setengah empat. Belum waktunya makan malam. Tapi perutnya sudah ribut minta diisi. Di Ciamis tadi, ia tak bisa menikmati menu yang disajikan. Pelayanannya lambat sekali! Sepiring gado-gado hanya sempat ia sentuh sedikit. Supir travel sudah menyuruh penumpangnya kembali ke kursi karena perjalanan ke Cilacap akan dilanjutkan.
Ah, sudah jam setengah empat. Belum waktunya makan malam. Tapi perutnya sudah ribut minta diisi. Di Ciamis tadi, ia tak bisa menikmati menu yang disajikan. Pelayanannya lambat sekali! Sepiring gado-gado hanya sempat ia sentuh sedikit. Supir travel sudah menyuruh penumpangnya kembali ke kursi karena perjalanan ke Cilacap akan dilanjutkan.
Dengan enggan, ia bangkit dari
posisi nyamannya. Ia menyesali keputusannya naik travel dari Bandung ke Cilacap. Seharusnya ia mengikuti saran Tante
Mira, kenalan mama di Bandung, agar naik kereta api saja. Lebih nyaman, menurut
Tante Mira. Tapi Shila punya pemikiran lain. Ia ingin mengenang kembali saat
dulu masih kuliah di Bandung, ia selalu menggunakan travel jika ingin pulang ke Cilacap. Walaupun itu jarang ia
lakukan.
Perutnya berbunyi lagi. Ia bergegas
masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan badan sejenak. Di bawah air pancuran
yang dingin, Shila berusaha mengingat masa-masa SMA-nya dulu. Shila berusaha
mengumpulkan kembali ingatannya tentang seseorang. Seseorang bernama Adhitya
Dharmawan.
***
(23 tahun yang
lalu)
"Shila! Sini!" Atik
melambaikan tangan dari bangku kedua dari belakang. Shila berjalan melewati
segerombolan anak perempuan yang asyik bergosip. Mereka sedikit terdiam ketika
Shila melintas.
"Kenapa mereka?" tanya Shila
sambil mengempaskan tubuh di kursinya.
"Cemburu ma kamu."
"Hah!! Aku? Cemburu
kenapa?" Shila membalikkan badan menatap Atik yang sedari tadi sibuk
mencorat-coret buku tulis. Atik meletakkan pensil 2Bnya dan memandang Shila
lekat-lekat.
"Karena kamu dekat sama Adhit.
Kamu nggak tahu, kan kalau Adhit sekarang jadi salah satu cowok yang diidolakan
satu sekolah? Bahkan kakak kelas aja cari-cari perhatian sama dia," terang
atik sambil kembali menggambar sulur-sulut di lukisan siluet wajah perempuan.
"Ah, masa, sih? Lagian kenapa
harus cemburu? Aku sama Adhit biasa aja, tuh. Dia aja yang ngekorin aku
mulu."
"Tok!tok! Tok! Kamu nggak peka,
ya jadi orang." Atik mengetukkan pinsilnya ke kepala Shila.
"Apaan, sih? Emang nggak ada
apa apa, kok."
"Shil, selama penataran P4,
kita, tuh kemana-mana bertiga. Kayak trio kwek kwek. Aku sudah berusaha semaksimal
mungkin cari perhatian Adhit biar dia cuma mau ngobrol ma aku, tapi nyatanya? Dikit-dikit
Adhit nanya, Shila mau apa? Shila mau ke mana? Shila ini ..., Shila itu ...,
taruhan! Dia tu suka ma kamu!"
Shila tercenung mendengar ucapan Atik.
Masa iya, sih? Memang Adhit terlalu menempel padanya dan kadang membuat dia
risih. Tapi kalau suka, kayaknya enggak, deh. Adhit sempurna! Shila? Entahlah.
"Mana dia?"
"Tapi nggak peduli. Tapi nyari
juga. Belum datang."
Shila menyisiri satu persatu bangku
kelas 1-3. Tak terlihat sosok Adhit di salah satu bangkunya. Dia teringat kejadian
Sabtu kemarin, saat penataran P4 hari terakhir. Ketika itu, dia membentak Adhit
cukup keras dan meninggalkannya begitu saja. Apakah Adhit marah? Apakah mungkin
jika Adhit minta pindah kelas? Tiba-tiba Shila merasa begitu khawatir tidak
bisa bertemu Adhit lagi. Cukup sudah hari Minggunya menjadi berantakan karena
sebab yang tidak dia pahami. Seharian Shila uring-uringan. Rasanya dia ingin
cepat-cepat hari Senin dan melihat senyum Adhit lagi. Astaga! Tiba-tiba shila
menyadari apa yang sedang tumbuh di hatinya.
Mata Shila masih menyisiri ruang
kelasnya. Dia menangkap beberapa wajah yang dikenalnya. Ada teman SMP-nya dulu yang
berbeda kelas. Ada juga teman satu kompleknya di perumahan BUMN. Ada Rio, Doni,
Gusti, dan Tulus. Sedangkan anak-anak perempuannya, wajah-wajah baru yang belum
dia kenal. Dari gaya mereka, sepertinya anak-anak dari golongan orang tua
berduit. Shila memutuskan tak bisa mengakrabi mereka semua. Dia anti dengan
perempuan pesolek, manja dan lemah. Kecuali Atik. Walau dia juga sedikit
pesolek …, tidak, tidak, tidak sedikit! Atik jelas pesolek. Pensil yang
digunakan untuk menggambar sketsa tadi, kini telah berganti eye liner untuk menggambar garis mata.
Yang benar saja! Shila menggelengkan kepalanya. Tapi Atik tidak manja, ganjen,
apalagi lemah. Dia bisa bersahabat dengannya.
"Bel udah bunyi. Kok, Adhit
belum datang, sih?"
"Kenapa kamu gelisah? Jangan-jangannn
...," Atik membelalakkan mata yang kini tampak lebih cantik karena telah
tergambar sempurna.
"Ish ..., aku cuma
khawatir," jawab Shila sambil memberikan pandang acuh pada Atik. Sedang Atik,
menggelengkan kepala dan menggerak- gerakkan telunjuknya maju mundur. Shila
melotot.
Shila memandangi awan yang terlihat
menyembul dari sela-sela jendela kelasnya. Wali kelas belum juga memasuki
ruangan. Adhit juga belum kelihatan. Kenapa dia merasa begitu sepi? Shila
mendesah.
"Enam." Suara atik
memecah lamunannya. Shila memandangi Atik yang kini sibuk mengikir kuku jari
tangannya.
"Sudah enam kali kamu mendesah
sejak bel berbunyi," kata Atik sambil meniup serpihan kuku di jarinya dan
memekik tak senang karena masih ada kuku yang bentuknya tidak sempurna.
"Terus?" tanya Shila
masih belum paham.
"Tok! Tok! Tok! Kamu itu
gelisah belum ketemu Adhit, tapi masih berkelit kalau nggak ada perasaan sama
dia. Ck! Ck! Ck!" Atik menggelengkan kepala sambil sibuk merapikan kuku
kembali.
Baru saja Shila hendak membuka
mulut membantah omongan Atik, kepala seseorang berlari terlihat
menyembul-nyembul dari kaca jendela yang letaknya agak tinggi. Wajah orang itu
tidak terlihat. Tapi bolehkah dia berharap? Tanpa sadar Shila menahan napas
ketika seseorang itu berdiri di pintu kelas.
(Adhit POV)
Adhit mengatur napasnya ketika tiba
di depan kelas 1-3. Wali kelas belum datang tapi kelas sudah penuh. Bangku
terdepan hingga tengah sudah terisi semua. Tinggal beberapa bangku di barisan
paling belakang. Matanya berkeliaran cepat meneliti setiap wajah perempuan di
kelasnya. Semua menatapnya. Beberapa tersenyum genit, beberapa malu, beberapa
acuh, hanya satu yang menatapnya dengan pandangan marah, kesal, tegang atau
apa? Dan bangku di belakang gadis itu kosong. Adhit tersenyum pada gadis itu dan
berjalan tepat menuju bangku di belakangnya. Matanya tak pernah lepas menatap
gadis itu. Perubahan pada wajah gadis itu sungguh membuatnya geli. Dari tegang,
marah, berangsur melembut, dan lega. Lalu kikuk dan malu. Adhit tertawa dalam
hati. Ada kegembiraan yang ingin keluar dari sudut hatinya. Tapi dia belum mau
berharap.
"Hai!" sapanya ketika
melewati Shila. Tersenyum dan mengerling sekilas pada Atik yang membalas acuh
karena sibuk dengan kuku jarinya.
Bahu Shila sedikit melorot ketika Adhit
duduk di belakangnya. Mungkinkah gadis itu menantinya, dan lega dengan
kehadirannya? Tapi bahu itu kembali tegak menegang ketika Adhit menepuk pundaknya.
Shila menelengkan kepala, menghindar menatapnya. Adhit mencondongkan tubuh dan
berbisik dekat telinga Shila.
"Kamu nungguin aku, kan?
Kangen?" Shila berbalik cepat dan melotot galak. Adhit terkekeh-kekeh
senang.
Gadis itu, Asyifa Deshila,
merindukannya. Dia yakin itu. Dan dia boleh mulai berharap dari sekarang.
Berharap dan menanti dengan sabar hingga Shila menyadari perasaannya.
(Shila POV)
Betulkah aku merindukannya? Shila
bertanya dalam hati. Seorang Adhitya Dharmawan bisa memikat gadis manapun di
sekolah ini. Yang tercantik, terseksi, terpintar dan ter-ter, lainnya. Tapi
dia? Apa kelebihannya? Jika betul hatinya merindukan Adhit, apa yang akan dia
peroleh? Jika betul Adhit menyukainya, bisakah Shila menjadi pantas di sisi
Adhit? Tidak! Itu tidak mungkin! Shila membayangkan kesakitan dan penderitaan
yang akan dia terima. Dia tidak boleh merindukan Adhit! Dia tidak boleh
merindukan cinta yang akan menjatuhkan hujan di hatinya. Hujan di bumi. Hujan
di semesta.
Tidak! Shila tidak akan jatuh
cinta. Dia masih ingat sakit yang diderita karena cinta. Dia tidak suka rasa
sakit itu. Bagai ribuan jarum yang menusuk hatinya tiap kali mengembus napas.
Shila tidak suka rasa sakit. Meski hanya tergores ilalang. Tidak! Adhit terlalu
sempurna untuknya. Jika bukan Adhit yang akan menyakiti hatinya, maka para
pemuja Adhitlah yang akan membuatnya menangis. Tidak! Tidak! Meskipun hati
kecilnya merindui Adhit teramat sangat, tapi dia tidak boleh membiarkan rasa itu
berkembang. Dia dan Adhit hanya boleh berteman. Ya, itu saja. Hanya teman. Jika
dia bisa membuat Adhit membencinya, itu lebih baik.
"Ke kantin?" Makhluk
menyebalkan yang menghantui pikiran Shila selama Bu Nunung mengajar, tiba-tiba
sudah berada di sisinya. Tersenyum ramah. Memandang lembut. Hampir saja Shila
mengkhianati pendiriannya.
"Nggak laper. Kamu duluan aja.
Ntar kalau laper aku ajak Atik ke kantin."
"Aku nggak ke kantin kalau
istirahat pertama, Shil. Ntar aku gendut ngemil melulu. Kamu sama Adhit aja ke
kantin. Eh, aku titip air mineral, ya. Yang pake botol. Pake duit kamu dulu
ntar aku ganti." Atik tersenyum penuh arti pada Shila yang memelototinya
galak.
"Kok, masih di sini. Ntar
misoa sama tahu brontak kesukaanmu abis, lho. Cepetan sana!" Atik mendorong
bahu Shila. Dengan enggan Shila bangkit dari tempat duduk dan mengikuti Adhit.
"Shil!" panggil Atik saat
Shila sampai di depan pintu kelas, "jangan lupa minumnya! Haus!" Atik
mengelus tenggorokannya. Shila memandang sebal.
Seperti yang Shila perkirakan, di
kantin yang penuh sesak dengan murid kelas satu, hampir semua mata anak
perempuan memandang mereka. Sama seperti seminggu lalu saat masih penataran P4.
Sebagian ingin mengagumi pesona Adhit, sebagian lagi ingin tahu, apa Adhit
masih bersama Shila? Pandangan tersebut berlanjut dengan bisik-bisik, menakar
kelebihan dan kekurangan Shila bagi Adhit. Tentu saja, bagi mereka para
pembisik, Shila lebih pantas jadi kacung Adhit daripada pacar Adhit. Mereka
menyayangkan selera Adhit. Bersama itu tumbuh benih-benih baru dalam diri para
pembisik, masih ada kesempatan merebut Adhit!
Ketidaknyamanan Shila saat bersama
Adhit tergambar jelas. Beberapa kali Shila mencoba menghilang di tengah
keriuhan kantin. Menyapa beberapa teman yang dia kenal dan sesekali bercanda
dengan mereka lebih lama.
"Ayo ke kelas! Atik nungguin
minumnya."
Lagi-lagi Adhit sudah berdiri di
belakang Shila, setelah tiga kali dia menghindar dari Adhit.
"Duluan, deh, Dhit! Aku masih
mau ngobrol sama Willy."
"Kasihan Atik. Dia haus."
Senyum masih mengembang di bibirnya, tapi mata dan suara Adhit begitu dingin
dan menusuk. Shila sedikit ngeri mendengarnya. Dia pun berpamitan pada Willy.
Shila berjalan menunduk di belakang
Adhit. Hatinya penuh tanya. Mengapa mata itu penuh amarah? Shila sungguh tak
nyaman dengan suasana tegang yang dia alami tadi.
"Jalanmu lambat. Kapan
sampainya ke kelas? Keburu Atik kekeringan." Adhit meraih lengan Shila dan
menuntunnya.
Shila terkejut. Langkahnya membatu
di lorong sepi antara kelas satu dan dua.
"Ayo! Kok, malah diam?"
Adhit membalikkan badan memandang Shila. Senyum ramah dan tatapan lembut kembali
menghias di wajahnya. Sejuk. Ketegangan yang Shila rasakan, hilang seketika.
Mereka pun berjalan bergandengan dalam diam sepanjang lorong.
Biarlah. Biarlah waktu membeku saat
ini. Hanya saat ini. Biarlah hari esok milik esok. Tak kan pernah sama.
Biarlah. Biarlah waktu yang singkat ini menjadi luapan rasa yang tak seharusnya
ada. Biarlah. Hanya saat ini. Saat ini saja. (*)
Komentar
Posting Komentar